Gombong, Kota Autopilot - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Gombong, Kota Autopilot

www.inikebumen.net - DI LINGKUP Kabupaten Kebumen, Kawasan Perkotaan Gombong (selanjutnya disebut Gombong) memang memiliki posisi yang unik sekaligus mengundang polemik. Dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang disusun Pemerintah Kabupaten Kebumen, Gombong masuk dalam kategori wilayah perkotaan mengingat sumber pendapatan penduduk dominan dari sektor industri dan jasa (non agraris).
Gombong, Kota Autopilot
Sigit Asmodiwongso
Wilayah ini tidak hanya sebatas Kecamatan Gombong, namun mencakup beberapa kawasan penyangga yang ada di Kecamatan Sempor, Buayan dan Rowokele. Secara budaya pun Gombong memiliki karakter yang relatif berbeda dibanding dengan wilayah lain di Kabupaten Kebumen. Sebagai sebuah kota dagang yang muncul setelah Perang Jawa (1825-1830), Gombong bisa dikatakan merupakan sebuah kota silang budaya.

Setidaknya ada empat kelompok budaya yang dapat disebutkan sebagai pembentuk Kota Gombong : kelompok pesantren dan petani,  kelompok kalang/nganten, kelompok budaya Eropa dan kaum terpelajar (baik Belanda totok maupun kalangan priyayi dan pegawai sipil) serta kelompok Tionghoa. Situasi ini menumbuhkan karakter masyarakat yang relatif egaliter, inklusif, beretos kerja tinggi sekaligus konsumtif.

Kedua faktor ini membuat Gombong (dalam konteks Kabupaten Kebumen) sampai tingkat tertentu terasa seperti ‘negara dalam negara’. Hal ini semakin dipertegas dengan beban sejarah masa revolusi, di mana wilayah Gombong dan wilayah Kebumen lainnya dipisahkan oleh garis status quo. Kali Kemit yang berada di Timur Gombong menjadi batas antara wilayah Republik dengan Wilayah Belanda. Keberadaan Benteng Cochius (AKA Benteng Van der Wijck) sebagai basis militer Pasukan Khusus ANJING NICA menegaskan aroma Belanda di Gombong masa lalu.

Pada masa Orde Baru, jarak ini ternyata masih juga terasa. Kebanggaan teritorial warga Gombong begitu kental sehingga di perantauan banyak kisah beredar bahwa orang Gombong (bahkan juga hingga Kecamatan Ayah, Sempor, Buayan dan sekitarnya) lebih mantap mengenalkan diri sebagai ‘orang Gombong’ daripada ‘orang Kebumen’. Sempat pula tercetus gagasan untuk membuat Gombong menjadi Kota Administratif. Sebuah rencana yang layu sebelum berkembang karena terhalang Undang-undang Otonomi Daerah.

Entah karena faktor-faktor di atas atau karena kelemahan desain perencanaan wilayah, senyatanya hingga sekarang memang perkembangan Gombong terasa kurang diperhatikan
oleh pemegang kekuasaan di seputaran alun-alun Kebumen. Sebagai sebuah kawasan kota yang terus berkembang, Gombong menggeliat tanpa arah dan perencanaan yang jelas. Ibarat sebuah pesawat, Gombong terbang dengan mode autopilot. Tak ada pengendali, semua berkembang sekehendak laju tumbuh kota secara alamiah.

Hal ini dapat kita lihat dengan minimnya intervensi pemerintah (daerah) terhadap  penyediaan fasilitas umum, penataan transportasi publik hingga pengelolaan tata guna lahan. Dari catatan dan wawancara yang dilakukan penulis, pedestrian di jalan-jalan Gombong sudah lebih dari limabelas tahun tidak pernah dilakukan pembenahan dan penambahan.

Pedestrian yang tersisa pun sebagian besar sudah diokupasi oleh pedagang kaki lima dan pemilik usaha lainnya. Begitu juga dengan sistem drainase kota yang bisa dikatakan sudah nyaris tidak berfungsi sama sekali. Ironis dengan kawasan kota lama seputaran kompleks militer yang dibangun Belanda di Gombong Utara. Di sini sistem drainase dibangun terpadu dan sangat teliti sekalipun saat ini juga mulai kewalahan menghadapi perubahan lingkungan.

Munculnya pusat-pusat kuliner ‘swakarsa’ di seputaran Jalan Gereja, Jalan Sempor Lama dan Jalan Sempor Baru juga bagai pedang bermata dua. Di satu pihak ini merupakan tanda semakin aktifnya geliat ekonomi masyarakat, di lain pihak tanpa penataan dan pendampingan yang baik potensi ini akan menjadi bom waktu dalam penataan kota. Akhirnya sebuah potensi ekonomi dan wisata yang cemerlang akan berubah menjadi batu sandungan manajemen wilayah.

Fenomena unik yang muncul –hemat saya merupakan perwujudnyataaan karakter budaya Gombong yang mandiri dan ulet—adalah adanya inisiasi-inisiasi masyarakat yang mencoba menjawab berbagai permasalahan-permasalahan lokal. Ambil contoh Komunitas Gerakan Tanggap Aksi Kemanusiaan (Gertaks) yang aktif dan solutif menanggapi berbagai masalah dari sampah, aksi karitatif sosial hingga berbagai kegiatan peduli lingkungan lainnya. Juga ada Komunitas Pusaka Gombong (KOPONG) yang bergerak di bidang preservasi berbagai warisan budaya di seputaran Gombong.

Yang penting disebut adalah adanya WA Group Seduluran Gombong yang beranggotakan warga Gombong dari berbagai elemen : pengusaha, bridokrat, budayawan dan lain-lain. Berbagai permasalahan di lapangan terbukti cepat mendapatkan solusi tanpa mengalami hambatan prosedur dan birokrasi komunikasi.

Berkaca dari semua hal itu, sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Kebumen memberi perhatian yang lebih memadai kepada pengembangan Kawasan Perkotaan Gombong. Pengembangan ini sama sekali harus dilepaskan dari isu-isu ego sektoral namun lebih luas lagi untuk mengurangi beban pusat kabupaten sebagai penggerak kemajuan wilayah.

Teori ‘taplak meja’ kiranya perlu diperhatikan dalam  ‘mimpi besar’ pemerintah daerah untuk mengurangi angka kemiskinan di Kebumen. Dimunculkannya simpul-simpul pengembangan wilayah ibarat mengangkat taplak meja pada satu titik yang akan berakibat terangkatnya wilayah di sekitarnya.

Jika kawasan Petanahan hendak dijadikan simpul pengembangan industri pertanian dan manufaktur, sangat layak Gombong dikembangkan menjadi simpul pengembangan industri pariwisata. Dinas Pariwisata, Dinas Pemukiman dan Sarana Wilayah serta OPD terkait sudah saatnya melihat Gombong dengan lebih cermat dengan menyusun rencana pengembangan wilayah yang lengkap dan terpadu.

Tak lupa pula untuk mengembangkan pola komunikasi partisipatif berdasarkan karakter budaya yang telah terbentuk. Hal ini bukan semata-mata demi kemajuan Gombong sebagai sebuah kecamatan, namun untuk mewujudkan simpul kemajuan yang akan mengangkat wilayah Kebumen bagian Barat.  Semoga terwujud.(*)
 
Sigit Asmodiwongso
Penulis adalah Pegiat Budaya dan Pemerhati Masalah Kota
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>