Hijrah Bukan Langkah Terakhir - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Hijrah Bukan Langkah Terakhir

www.inikebumen.net UMAT Islam baru saja melewati pergantian tahun hijriyah, dari 1339 ke 1440.
Hijrah Bukan Langkah Terakhir
Kang Juki
Lazimnya dalam setiap pergantian tahun hijriyah, peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW akan menjadi topik dalam berbagai kesempatan. Dari khutbah Jumat, majelis-majelis ta'lim, hingga merambah dunia maya menjadi pesan yang banyak disebar di facebook, twitter, whatsapp, line atau callind.

Pesan umum yang acapkali didapat dari perbincangan topik hijrah adalah ajakan berhijrah tidak hanya dalam arti fisik. Melainkan juga berhijrah dengan meninggalkan hal-hal buruk menuju hal-hal baik. Bahkan beberapa orang musisi, termasuk musisi asal Kebumen yang menjadi bassist Power Slaves Anwar Fatahilah, lantas membentuk komunitas HIRA, hijrah ramai-ramai.

Ada dua hal yang barangkali luput dari perhatian umat Islam saat membahas topik hijrah. Pertama, hijrah tidak langsung membawa hasil. Hijrah Rasulullah SAW ke Yatsrib yang menjadi awal meluasnya dakwah Islam, bukanlah hijrah yang pertama kali dilakukan, baik oleh umat Islam maupun Rasulullah SAW sendiri.

Sebelumnya, sekelompok umat Islam dua kali melakukan hijrah ke Habsyah (Abbesinia atau Ethiopia sekarang). Yang pertama pada tahun ke-5 setelah kenabian dipimpin Usman bin Affan, ada 12 orang laki-laki dan 4 orang perempuan yang ikut. Informasi berangsur membaiknya keadaan di Mekah, membuat mereka pulang sekitar tiga bulan kemudian.

Yang kedua pada tahun ke-7 setelah kenabian. Dipimpin Ja'far bin Abu Tholib, ada 101 orang yang ikut, 83 laki-laki dan 18 orang perempuan. Sempat ada upaya utusan Quraisy Mekah, Abdullah bin Rabi'ah dan Amr bin Ash, agar Raja Najasyi penguasa Habsyah, mau mengusir umat Islam. Sejumlah hadiah pun dipersembahkan keduanya untuk Raja Najasyi. Namun kepiawaian Ja'far bin Abu Tholib dalam menjelaskan keberadaan rombongannya, membuat Raja Najasyi mengijinkan umat Islam boleh menetap sampai kapan pun di Habsyah.

Rasulullah SAW bersama putra angkatnya Zaid juga pernah berhijrah ke Thaif pada tahun ke-10 kenabian. Langkah ini dilakukan setelah pamannya Abu Thalib dan istri Rasulullah SAW, Khadijah meninggal dunia. Wafatnya kedua orang ini membuat kaum Quraisy meningkatkan tekanannya kepada Rasulullah SAW.

Thaif dipilih menjadi tujuan hijrah karena wilayahnya yang sangat strategis dan memiliki sumber pertanian yang sangat kaya. Ketika itu Thaif dikuasai Bani Tsaqif, yang dipegang oleh Abdu Jaffi, Abdul Kulal dan Habib. Rasulullah SAW pun langsung menemui mereka. Rupanya persekutuan Bani Tsaqif dengan Kaum Quraisy membuat mereka menolak dakwah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tetap menanggapinya dengan lemah lembut, lalu berpamitan seraya meminta agar kedatangannya tidak diberitahukan kepada seluruh penduduk.

Permintaan itu tak diindahkan ketiga tokoh Bani Tsaqif tersebut. Dengan segera penduduk Thaif mengetahui kehadiran Rasulullah SAW. Mereka mencaci maki dan mendustakan beliau dengan perkataan-perkataan yang sangat kasar. Bahkan mereka mengusir beliau dari kota Thaif disertai ancaman akan dibinasakan saat itu juga. Padahal Rasulullah SAW dan Zaid pergi dari Mekah ke Thaif dengan berjalan kaki.

Dalam perjalanan pulang Rasulullah SAW memanjatkan doa yang cukup panjang. Antara lain demikian, "... Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal Engkau tidak marah padaku...."

Malaikat Jibril kemudian diutus untuk menyampaikan pesan bahwa Allah SWT telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung agar menaati Rasulullah SAW. Artinya, bila Rasulullah SAW menghendaki, malaikat-malaikat itu bisa membinasakan penduduk Thaif. Setidaknya menghukum mereka dengan cara apa saja yang dikehendaki Rasulullah SAW.

Mendengar tawaran itu, Rasulullah SAW bersabda, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Usai dari Thaif inilah baru kemudian Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib dan berhasil mengembangkan dakwah dan membangun kekuatan di sana. Yatsrib pun berubah nama menjadi Madinah.

Kedua, pelajaran yang bisa dipetik dari hijrahnya Rasulullah SAW, ke mana pun hijrahnya, tetap akan kembali. Usai hijrah ke Habsyah, umat Islam kembali ke Mekah, saat menilai keadaan di Mekah sudah membaik. Karena ditolak di Thaif, Rasulullah SAW kembali Mekah. Demikian juga setelah Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib yang kemudian diganti namnya menjadi Madinah. Rasulullah SAW berhasil menyusun kekuatan umat Islam, sehingga berhasil kembali ke Mekah dengan jalan damai. Peristiwa yang lazim disebut Fathu Mekah (Pembebasan Mekah).

Saat kembali ke Mekah tersebut, Rasulullah SAW diiringi 10.000 orang pasukan. Tanpa pertumpahan darah, umat Islam berhasil menguasai Mekah secara keseluruhan. Berhala-berhala yang ada di sekitar Ka'bah dihancurkan dan dibersihkan.

Kedua pelajaran tentang hijrah ini penting dipahami umat Islam, agar menyadari bahwa selain harus dilaksanakan sungguh-sungguh, hijrah juga bukan langkah terakhir, mesti diikuti fathu Mekah, kembali ke tempat semula setelah berhasil menyusun kekuatan, sehingga bisa mendakwahkan Islam tanpa gangguan.(*)


Achmad Marzoeki (Kang Juki)

Penulis novel "Pil Anti Bohong" dan "Silang Selimpat".
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>