Menjaga Keimanan dengan Kesiapan Menghadapi Ujian - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Menjaga Keimanan dengan Kesiapan Menghadapi Ujian

Menjaga Keimanan dengan Kesiapan Menghadapi Ujian
Kang Juki
www.inikebumen.net PERINTAH untuk berpuasa di bulan Ramadhan adalah bagi orang yang beriman, sehingga jika merasa memiliki kewajiban untuk menjalankannya, berarti kita telah mengaku sebagai orang yang beriman. Pangakuan sebagai orang beriman akan memberikan berbagai konsekuensi.

Dalam Al Quran Allah Swt mengingatkan, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman,' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS Al Ankabut 2-3).

Sahabat Saad bin Abu Waqqash ra pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?" Beliau menjawab, "Para nabi, kemudian yang sepertinya, kemudian yang sepertinya, sungguh seseorang itu diuji berdasarkan agamanya, bila agamanya kuat, ujiannya pun berat, sebaliknya bila agamanya lemah, ia diuji berdasarkan agamanya, ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan." Hadits hasan shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Bani ini bisa ditemui antara lain pada Sunan Tirmidzi Kitab Zuhud dengan nomor 2322, Sunan Ibnu Majah nomor 4013 dan Musnad Ahmad nomor 1400.

Pemahaman tentang iman dan ujian ini penting, karena dalam keseharian masih banyak yang mengira keberhasilan duniawi sebagai indikator kebenaran jalan yang sudah ditempuh.

Birokrat yang karirnya cepat melesat, pengusaha yang berhasil menggarap banyak proyek, politisi yang selalu memenangkan pemilihan dan keberhasilan duniawi lainnya, seringkali dianggap bukti oleh masyarakat, bahwa yang bersangkutan telah berjalan di atas kebenaran. Apalagi bila ditambah dengan penampilan yang mencitrakan seorang yang alim. Sementara yang mengalami nasib sebaliknya dianggap karena menempuh jalan yang keliru.

Padahal Allah Swt mengingatkan bahwa masa kejayaan manusia di dunia ini dipergilirkan (QS Ali Imran 140), sehingga bisa diraih orang mukmin maupun kafir. Ayat ini turun usai perang Uhud, yang banyak membuat umat Islam sahid, termasuk paman Rasulullah Saw, Hamzah bin Abdul-Muththalib ra.

Peristiwa ini menimbulkan duka mendalam bagi umat Islam di masa Rasulullah Saw. Karena itulah Allah Swt mengingatkan umat Islam adanya pergiliran masa kejayaan di kalangan manusia, sebagai bagian dari ujian.

Berkaca pada peristiwa tersebut, bagi yang merasa belum berhasil dalam urusan dunia, padahal sudah merasa melaksanakan kewajibannya, tak perlu putus asa. Itu adalah bagian dari ujian yang harus dijalani. Tetaplah menggunakan cara yang dihalalkan dalam menggapai keberhasilan dunia, jangan sampai menghalalkan semua cara agar bisa berhasil.

Bagi yang sudah merasakan keberhasilan duniawi, juga harus memahami, hal itu tidak identik dengan kebenaran langkah yang sudah ditempuh sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga apa yang sudah diraihnya itu juga menjadi ujian baginya.

Jika diraih dengan cara yang halal, mampukah terus mempertahankan dengan cara yang halal pula? Apalagi bila mengakui, keberhasilannya ditempuh dengan menghalalkan segala cara, akankah terus mempertahankannya?

Bulan Ramadhan yang mulia ini, mudah-mudahan bisa menjadi sarana berintrospeksi, menggapai keberhasilan dunia dan akhirat. Kalau ternyata harus memilih, keberhasilan akhirat yang harus diprioritaskan. Sebab apa pun yang diraih di dunia semuanya merupakan ujian, apa kita sudah benar-benar menjadi orang yang beriman atau belum. Wallahu a'lam.(*)

Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung, Kauman Kebumen.

Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>