Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung

Oleh: Teguh Hindarto

Drs Saptoto, seorang guru dan teman dari Teguh Twan, pelukis dan pemahat yang tinggal di Kebumen menerima tugas membuat Tugu Lawet dari Bupati Kebumen, Supeno Suryodiprojo.

Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung
Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung
 www.inikebumen.net SETELAH beberapa waktu lamanya menjadi polemik terkait pemasangan pagar besi di sekeliling Tugu Lawet Kebumen, maka pada tanggal 10 Juni 2019 lalu, pagarbesi berbentuk kelopak bunga ini akhirnya dibongkar.

Keberadaan Tugu Lawet dengan tinggi 10 meter, tidak bisa dipisahkan dari nama Drs Saptoto, seorang guru dan teman dari Teguh Twan, pelukis dan pemahat yang tinggal di Kebumen . Menurut pengakuan Teguh Twan saat diwawancarai tahun 2013 silam dia hanya membantu  pengerjaan Tugu Lawet pada era Bupati Kebumen, Supeno Suryodiprojo. Sebelumnya, Teguh Twan terlibat dalam pengerjaan Monumen Kemit yang di mulai pada tahun 1974 dan diselesaikan pada tahun 1975. Teguh Twan sendiri wafat satu tahun lalu yaitu tanggal 17 Juni 2018.

Tugu Lawet/Walet menjadi penanda simbolik bahwa masyarakat Kebumen di suatu masa pernah mengalami sebuah kejayaan pengelolaan sarang burung lawet/walet (vogelnestjes, bahasa Belanda) sehingga menjadi sumber pendapatan daerah. Sekitar tahun tahun 2017-an mengalami penurunan drastis sehingga antara pendapatan yang dihasilkan dari pengelolaan sarang walet dengan biaya pengunduhan mengalami kesenjangan signifikan. Sejak itu pengelolaan sarang walet/lawet diserahkan kepada desa dan bukan lagi oleh Pemerintahan Daerah.

Keberadaan sarang walet/lawet dapat dilacak dalam bentuk folklore setempat yang berkembang di wilayah Karang Bolong dan dokumen sejarah berupa koran-koran berbahasa Belanda yang mencatat perkembangan ekonomi pengelolaan burung walet/lawet.

Folklore yang berkembang terkait keberadaan sarang lawet dan khasiatnya di Karang Bolong, dikaitkan dengan sebuah kisah sakitnya istri Raja Kartasura yang tidak kunjung mengalami kesembuhan. Berbagai tabib telah diperintahkan untuk menyembuhkan namun tidak ada satupun yang mampu menyembuhkan sakit istri raja.

Penasihat istana menyarankan agar Sang Raja bersemedi dan maneges (meminta petunjuk Tuhan). Pada suatu hari saat bersemedi, terdengarlah suara yang berkata, “Hentikanlah semedimu, ambillah bunga karang di tepi pantai selatan. Dengan bunga karang itulah permaisuri akan sembuh”. Beberapa versi menyebut “jamur karang” untuk menamai “bunga karang” yang dimaksudkan.

Beberapa hari kemudian, Sang Raja menugaskan Adipati Surti untuk mencari dan menemukan serta mengambil bunga karang tersebut. Untuk membantu tugasnya, Adipati Surti, memilih dua orang pengawal setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur untuk menemaninya.

Setelah beberapa hari kemudian, Adipati Surti beserta kedua pembantunya tiba di Karang Bolong. Adipati Surti masuk ke dalam sebuah goa dan melakukan semedi di dalamnya. Saat bersemedi itulah Adipati Surti mendengar suara seorang perempuan. “Hentikanlah semedimu, aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi kau harus memenuhi semua persyaratanku”. Adipati Surti membuka matanya, di hadapannya dia melihat seorang perempuan cantik. Perempuan itu memperkenalkan namanya sebagau Suryawati. Dia adalah abdi dari Nyi Roro Kidul yang menguasai Laut Selatan.

Namun ada syarat yang diminta oleh Suryawati kepada Adipati Surti, bilamana  dia telah menemukan “bunga karang”, dia harus kembali tinggal ke Karang Bolong dan tinggal bersamanya. Setelah menyanggupi, Suryawati membawa dan menunjukkan kepada Adipati Surti benda yang dimaksudkan sebagai “bunga/jamur karang” yang tiada lain adalah “sarang burung Walet/Lawet”.

Singkat cerita setelah membawa benda yang maksudkan dan diserahkan kepada Sang Raja dan istrinya mengalami kesembuhan, Adipati Surti kembali ke Karang Bolong untuk memenuhi janjinya dan tinggal di sana menjadi suami Suryawati.

Sejak era kolonial (Belanda), wilayah Karang Bolong telah dikelola oleh pemerintahan Belanda sebelum disewakan kepada swasta. Namun kisah mengenai Raja Surakarta atau Adipati Surti tidak begitu di kenal dan tidak ditemukan dalam sejumlah pemberitaaan media surat kabar berbahasa Belanda. Apakah folklore ini telah beredar luas sebelum era kemerdekaan atau pasca kemerdekaan, belum didapatkan kepastian.

Peran sentral Ratu Kidul (dalam koran berbahasa Belanda disebut Njai Loro Kidoel) telah dikenal di Karang Bolong sejak era kolonial berkaitan dengan sejumlah kegiatan upacara penghormatan sebelum pelaksanaan pengunduhan sarang lawet. Dalam sebuah artikel yang dibuat oleh seorang pengunjung dengan judul, “Naar Karang Bolong” (Menuju Karang Bolong) yang dimuat dalam Bataviaasch nieuwsblad bertanggal 30 Mei 1925, diberikan sejumlah deskripsi menarik sbb:

“Daar aangekomen moeten wij uit stappen om den tocht verder tue  voet af te leggen. Vooraf een bezoek gebracht aan de loods, staande bezijden de pasanggrahan, welke dient tot bergplaats van de vogelnestjes, voordat zij worden verzonden, en waarin eenige merkwaardigheden zijn te zien, behoorende  tot de oepatjara's – rijks sieraden — dan wel poesaka's — erfstukten der regentenfamilie van Karang-Anjar en die in betrekking staan tot Ratoe Loro Kidoel, de maagdelijke vorstin der Zuider zee. Ze bestaan uit den heiligen vogel Garoeda en een slaapstede der goddelijke vorstin, waaraan door de bevolking geregeld offers worden gebracht : vandaag meer dan anders, omdat lieden de vogelnestpluk zou aanvangen”

Terjemahan bebas:
“Sesampai di sana, kami harus keluar untuk melanjutkan perjalanan. Mengunjungi gudang sebelumnya, berdiri di sebelah pasanggrahan, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sarang-sarang burung sebelum dikirim, dan di mana beberapa benda luar biasa dapat dilihat, berkaitan dengan oepacara – perhiasan mahal - dan poesaka, yaitu pusaka dari keluarga Bupati Karang -Anjar dan yang terkait dengan Ratoe Loro Kidoel, putri perawan dari Laut Selatan. Perkakas tersebut terdiri dari burung suci Garoeda dan tempat tidur sang dewi, kepada siapa orang-orang secara teratur berkorban: hari ini lebih dari biasanya, karena orang akan memulai pengunduhan sarang burung Lawet”.

Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung
Koran Bataviaasch nieuwsblad bertanggal 30 Mei 1925
Mengapa sejumlah pusaka keluarga Bupati Karanganyar? Ya, karena sebelum 1 Januari 1936, Karanganyar adalah sebuah kabupaten (regentschapen) yang berdiri sendiri di mana Karang Bolong menjadi salah satu distriknya. Tahun 1927 sebagaimana laporan koran di atas, Karanganyar dipimpin oleh putra R.A.A. Tirtoekoesoemo yaitu R.A.A. Iskandar Tirtoekoesoemo.

Namun demikian kewenangan formal pengelolaan pegunduhan sarang burung Lawet/Walet di Karang Bolong baru diserahkan dari Gouvernement (pemerintah pusat) ke Regentschap Karanganjar (Kabupaten Karanganyar) pada tanggal 1 januari 1930  sebagaimana dilaporkan artikel berjudul, “De Plaats Der Eetbare Vogelnestjes:Karangbolong (Lokasi Sarang Burung Yang Dapat Dimakan: Karangbolong) yang diterbitkan De Sumatra Post bertanggal 30 Mei 1931. Tercatat nama pengusaha Tionghoa dari Semarang bernama Ong Thiam Hoat telah menyewa kawasan dengan biaya 27.600 florin dan menjadi sumber pendapatan daerah Kabupaten Karanganyar pada zaman itu. Nama dua gua utama pengunduhan sarang burung sudah disebutkan yaitu Gua Gedeh dan Gua Djoembleng. Keberadaan sarang burung lawet dilaporkan telah diekspor sampai ke Singgapura, Cina dan Ghana.

Tahun 1937 pasca Karanganyar dan Kebumen dilebur menjadi Kabupaten Kebumen, pengelolaan sarang lawet berpindah menjadi otoritas Kabupaten Kebumen sebagaimana sebuah berita yang diumumkan oleh Bupati Arung Binang di koran De Indische Courant bertanggal 27 Juli 1937 dengan judul, Openbare Inschrijving (Pendaftaran Terbuka/Pendaftaran Publik) yang isinya sbb: Bupati Keboemen mengumumkan bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Agustus 1937, jam 10 pagi di Regentschapantore (Kantor Kabupaten) Kebumen mengenai Pendaftaran Terbuka/Pendaftaran Publik berkaitan akan diberikannya hak eksklusif untuk Mengumpulkan Sarang Burung Yang Dapat Dimakan, yang ditemukan di semua tebing dan gua di Kecamatan Buayan, Ayah dan Rowokele, distrik Gombong, Kabupaten Kebumen.

Tidak ada kepastian sejak kapan sarang burung lawet/wallet dikelola secara resmi oleh pemerintahan Belanda. Namun demikian ada penggalan keterangan menarik dari sebuah In Officieel Gedeelte (Berita Resmi) yang menyiratkan keberadaan sarang burung telah lama dikenal di Karang Bolong. Dalam laporan yang dimuat koran Javasche Courant bertanggal 11 Agustus 1847 perihal kunjungan Gubernur Jendral dikatakan sbb:

“Zijne Exellentie de Minister van Staat, Gouverneur General heeft verscheindene dagen van den voor Hogstzelfs rondreize over java bestemden tijd, aan de belangen de residentie Bagelen toegewijd...Van Ambal maakte Zijne Exellentie den volgenden dag eenen uitsap naar het door zijne vogelnestjes Bekende Karang Bolong, en begaf zich van daar naar Keboemen om, na aldaarte hebben overnacht, zich over Gombong naar Bandjoemas te begeven”
Terjemahan bebas:
“Yang Mulia Menteri Negara, Gubernur Jenderal, memiliki beberapa hari untuk perjalanan mengitari Jawa yang didedikasikan demi kepentingan Karesidenan Bagelen. Keesokan harinya, dari Ambal, Yang Mulia melakukan perjalanan ke Karang Bolong, yang dikenal dengan sarang burungnya kemudian berangkat menuju Keboemen, setelah bermalam di sana, kemudian pergi ke Gombong dekat Bandjoemas”

Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung
Koran Javasche Courant bertanggal 11 Agustus 1847
Frasa, “zijne vogelnestjes bekende Karang Bolong” (Karang Bolong, yang dikenal dengan sarang burungnya) mengisyaratkan lokasi ini telah lama dikenal sebagai wilayah pengunduhan sarang burung di bawah kendali pemerintahan Belanda. Dikemudian hari, status pengelolaan sarang burung mulai disewakan pada swasta. Sebagaimana dilaporkan sebuah aertikel berjudul, “Karang Bolong” oleh De Indische courant bertanggal 07 April 1927, “Het inzamelen van vogelnestjes geschiedde tot voor 1886 door het gouvernement zelf, doch sedert dat jaar worden de grotten verpacht” (Sarang burung dikumpulkan oleh pemerintah sendiri sampai tahun 1886, tetapi sejak tahun tersebut gua telah disewakan).

Tugu Lawet dan Jejak Historis Pengunduhan Sarang Burung
Artikel di koran De Indische courant bertanggal 07 April 1927
Tahun 1900-an, sejumlah orang Tionghoa telah terlibat dalam pembelian sarang burung yang disewakan oleh pemerintah Belanda sebagaimana dilaporkan, “verpacht aan den Luitenant 'der Chineezen The Tjien Ing te Moentilan, voor f 660 per maand” (disewakan kepada Letnan Cina The Tjien Ing di Moentilan sebesar 660 florin per bulan - Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21 November 1914).

Tidak ada yang berubah dalam hal metode pengunduhan sarang burung sejak era kolonial hingga era kemerdekaan termasuk masa kini. Istilah Gandek telah dikenal saat itu sebagai orang yang bertugas mengambil sarang burung Lawet (dalam sebuah wawancara yang dilakukan penulis beberapa bulan lalu, sebenarnya ada beberapa hirarkhi petugas selain Gandek antara lain Sotir). Sebuah artikel berjudul,“Naar Karang Bolong” (Menuju Karang Bolong) yang dimuat dalam Bataviaasch nieuwsblad bertanggal 30 Mei 1925 memberikan sebuah deskripsi menarik mengenai bagaimana sarang-sarang lawet tersebut diperoleh sbb:

“Alle werktuigen zijn hoogst primitief van vorm en naken het nederdalen van de plukkers voor den toeschouwer tot een angstwekkend gezicht. De touwladders worden aan den boomwortel vastgesnoerd met tali-doek. Zoo had men altijd gedaan en de gandeks wenscht daarin neen verandering: het zou botten slamet zijn, gelijk eenn van hen ons verzekerde”
Terjemahan bebas:
“Semua alat memiliki bentuk yang sangat primitif dan membuat turunnya para pengunduh sarang burung akan menjadi pemandangan yang begitu menakutkan. Tangga tali diikat ke akar pohon dengan tali-doek. Mereka selalu melakukan itu dan para Gandeks tidak menginginkan perubahan dalam hal itu: itu akan menjadi mboten slamet, sebagaimana salah satu dari mereka meyakinkan kami”.
Demikianlah kurang lebih gambaran masa-masa keemasan pengunduhan sarang burung lawet/walet di kawasan Karang Bolong khususnya Gua Gede dan Gua Jumbleng.

Kemanakah burung-burung lawet/walet itu sekarang, sehingga menyebabkan penurunan dan tidak menjadi komoditas andalan kabupaten? Tidak mudah untuk menjawabnya dan memerlukan riset tersendiri.

Sekalipun masa keemasan telah berlalu, bukan berarti dilupakan begitu saja. Tidak perlu pula merombak dan mengganti dengan sebuah penanda simbolik lainnya. Pelacakkan historis yang dituliskan dalam artikel ini, dimaksudkan untuk mempertegas pemaknaan simbolik dibalik tegaknya Tugu Lawet yang berdiri di jantung kota Kabupaten Kebumen.

Keberadaan Tugu Lawet menjadi sebuah penanda masa keemasan pengunduhan sarang burung yang dapat menghidupi ekonomi sebuah kota. Serentak dengan itu sebagai sebuah peringatan kewaspadaan bahwa sumber daya alam dan hayati bisa habis tidak menyesikan bekas jika dikelola dengan mengabaikan kearifan.(*)

Teguh Hindarto 
Peminat Kajian Sosial, Sejarah, Budaya

Artikel ini telah diperbarui pada Sabtu, 28 September 2019 pukul 23.19 WIB.
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>