Angka Kemiskinan dan Calon Haji - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Angka Kemiskinan dan Calon Haji

www.inikebumen.net MASIH banyak yang keliru menafsirkan tentang angka kemiskinan, seakan hal itu menunjukkan daerah tersebut miskin, kurang memiliki potensi untuk dikembangkan. Sehingga ketika Biro Pusat Statistik (BPS) kembali merilis data persentase penduduk miskin dan Kebumen kembali menduduki urutan kedua se Jawa Tengah, serta merta anggapan Kebumen sebagai daerah miskin semakin menguat.
Angka Kemiskinan dan Calon Haji
Achmad Marzoeki (Kang Juki)
Seakan di Kebumen sama sekali tidak ada potensi yang bisa dikembangkan. Padahal jika memahami angka kemiskinan dengan benar, maka kesimpulan yang didapatkan akan berbeda, demikian pula gagasan untuk mengantisipasinya.

Up date data terakhir di laman BPS (3 Agustus 2017) menunjukkan jumlah penduduk miskin Kebumen pada tahun 2016 sebanyak 235.900 orang (19,86% dari jumlah penduduk 1.187.815 orang). Dari segi jumlah, angka tersebut terbanyak keempat se Jawa Tengah, setelah Brebes (347.980 orang), Banyumas (283.900 orang) dan Cilacap (240.240 orang). Namun dari segi persentase penduduk miskin, Kebumen menduduki peringkat kedua setelah Wonosobo (20,53%). Untuk diketahui, pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin Jawa Tengah adalah 4.493.750 orang atau 13,27% dari jumlah penduduk.

Penduduk miskin menurut BPS adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara garis kemiskinan itu sendiri merupakan gabungan dari garis kemiskinan makanan, yakni nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan setara 2.100 kilo kalori per kapita per hari, dan garis kemiskinan non makanan, yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Sayangnya di sini, pulsa telepon seluler belum termasuk di dalamnya, padahal penggunaannya sudah merata.

Banyaknya orang miskin tidak identik dengan ketiadaan potensi daerah tersebut untuk dikembangkan. Latar belakang kemiskinan bisa bersifat kultural atau struktural, bisa individual atau sistemik. Jika mayoritas masyarakat miskin adalah petani dan terjadi akibat mahalnya biaya produksi ketimbang nilai jual hasil pertanian, jelas itu kemiskinan yang dibentuk secara struktural dan sistemik. Perlu terobosan kebijaksanaan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menurunkan biaya produksi sekaligus mendongkrak harga jual langsung produk pertanian dari tangan petani.

Berkebalikan arah dengan angka kemiskinan adalah jumlah calon haji (calhaj) Kebumen yang daftar tunggunya sudah sampai 19 tahun. Jumlah calhaj Kabupaten Kebumen tahun ini mencapai 1.132 orang, menduduki peringkat ke-7 se Jawa Tengah. Jika menggunakan data BPS yang sama (2016), maka jumlah tersebut setara dengan 9,53% jumlah penduduk.

Memang jumlah calhaj sesuai dengan kuota yang ditentukan Kementerian Agama dan pasti menggunakan rumus tertentu. Namun bila coba diotak-atik, misalnya untuk mendapatkan angka persentase calhaj dari jumlah penduduk di tiap kabupaten/kota se Jateng, hasilnya beragam dengan kisaran 5-15%. Dengan asumsi calhaj relatif orang kaya (mampu), maka angka 9,53% untuk calhaj Kebumen cukup memberi gambaran, di Kebumen tak hanya banyak orang miskin, tapi juga banyak orang kaya.

Angka-angka ini membantu mendapatkan gambaran kasar tentang permasalahan Kebumen. Bukan kemiskinan potensi daerahnya yang membuat tingginya angka kemiskinan, melainkan tingginya kesenjangan miskin-kaya. Bisa jadi karena keengganan yang kaya untuk berbagi kesempatan agar yang miskin bisa lebih produktif secara ekonomi dan lepas dari jerat kemiskinan. Mungkin mereka baru mau berbagi santunan yang bersifat konsumtif dan cenderung menciptakan ketergantungan. Tak mengherankan bila yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin pula.

Istilah pemberdayaan yang sudah lama dipopulerkan, kenyataannya sulit untuk dipraktekkan. Langkah “berikan kail, jangan hanya beri ikannya” tak lagi bermakna, karena “pemberi kail selanjutnya beroperasi dengan jaring”. Padahal memperluas kesempatan berusaha lebih bisa diharapkan mengentaskan kemiskinan, ketimbang berharap investor datang, lalu membangun industri dan merekrut penduduk untuk menjadi pekerjanya.

Masalahnya seberapa peduli pengusaha sukses di Kebumen terhadap kaderisasi pengusaha di luar lingkungan keluarganya? Diperlukan banyak pengusaha sukses yang tak hanya berhasil mengelola usahanya, tapi juga mampu mengkader para karyawannya menjadi pengusaha baru yang lebih sukses.

Akhirnya, jangan hanya melihat angka kemiskinan kalau menjadikan kita pesimis. Perhatikan juga jumlah calhaj yang masih harus antri belasan tahun agar lebih optimis menatap perekonomian Kabupaten Kebumen.(*)

Achmad Marzoeki (Kang Juki)
Penulis novel “Pil Anti Bohong” dan “Silang Selimpat”.
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>