Pilkades, Wuwuran dan Totohan
Achmad Marzoeki (Kang Juki) |
Pertama, kerabat atau kenalannya ikut menjadi cakades, sehingga secara moral merasa terpanggil ikut membantu untuk memenangkan. Kedua, mempunyai kegiatan usaha atau berminat membuka usaha di desa yang sedang menyelenggarakan pilkades, sehingga merasa berkepentingan dengan hasil pilkades. Ketiga, melihat ada peluang usaha yang bisa dimanfaatkan dalam pelaksanaan pilkades, baik karena keramaian dan kemeriahan pelaksanaannya, atau asesoris untuk pendukung pelaksanaannya.
Walau kampanye pilkades tak sesemarak kampanye pilpres, pilkada atau pileg, sudah pasti setiap cakades akan mencoba terobosan-terobosan baru dalam upaya meraih suara dukungan. Yang pasti pada hari H pilkades, sejak pemungutan hingga penghitungan suara, pasti akan diikuti adanya pasar kaget di lokasi pemilihan. Sejumlah pedagang dari desa tetangga, yang jauh sekalipun, bisa ikut meramaikan prosesi pelaksanaan pilkades.
Ketiga latar belakang tersebut masih dalam kategori wajar dan kecil kemungkinannya mengganggu pelaksanaan pilkades. Malahan sebaliknya, membuat pilkades bertambah meriah. Yang bisa bikin runyam adalah ketika ada yang menjadikan pilkades sebagai ajang perjudian dengan cara totohan atau taruhan mengunggulkan cakades pilihan masing-masing.
Patut diingat, bahwa perjudian merupakan kasus pidana terbanyak yang disidangkan di Pengadilan Negeri Kebumen. Data dari laman Pengadilan Negeri Kebumen, selama bulan Juli 2017, dari 39 kasus pidana biasa yang ditangani, 16 di antaranya, atau sekitar 41% adalah kejahatan perjudian. Narapidana kasus judi juga lumayan banyak. Rutan kelas II B Kebumen, per Maret 2017, dari 165 narapidana yang menghuninya, 27 orang (16,36%) karena kasus judi.
Tak bisa dipungkiri, judi walau termasuk kategori tindak pidana, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 25 juta (Pasal 303 KUHP), masih menjadi kebiasaan sebagian masyarakat. Jika kita memperhatikan persawahan di seluruh Kabupaten Kebumen, niscaya kita tidak akan kesulitan menemukan sepetak tanah yang menjadi ajang balap merpati.
Ditandai dengan empat tiang bambu berbentuk bujursangkar yang ujungnya dihubungkan dengan tali. Sulit diingkari, bahwa dalam ajang balap merpati seperti itu pasti ada beberapa orang yang berjudi. Belum lagi bentuk perjudian lain seperti sabung ayam, togel maupun permainan dengan kartu.
Berbagai peristiwa yang sebenarnya tak terkait dengan judi sekalipun, bisa dijadikan obyek perjudian dengan cara totohan atau memasang taruhan pada pihak yang diunggulkannya akan menang, seperti pertandingan sepakbola, pacuan kuda dan berbagai cabang olah raga lainnya. Ketika jumlah taruhan semakin besar, bukan tidak mungkin para petaruh kemudian melakukan segala cara untuk mempengaruhi hasil pertandingan, seperti pengaturan skor dalam sepakbola.
Pilkades, termasuk peristiwa yang bisa dimanfaatkan menjadi ajang perjudian, karena menariknya dinamika peluang keterpilihan setiap cakades. Jika totohan-nya besar, maka tidak menutup kemungkinan pula para penjudi akan mencoba mempengaruhi hasil pilkades, agar bisa menang totohan. Salah satu cara untuk mempengaruhi hasil pilkades adalah dengan wuwuran, yakni memberi amplop kepada para pemilih dengan tujuan agar memilih cakades sesuai keinginan yang muwur.
Karena itu, upaya mewujudkan pilkades yang bersih tanpa ada wuwuran, belum cukup jika hanya melibatkan cakades dan tim suksesnya. Masih ada pihak lain yang berpotensi melakukan wuwuran, yakni mereka yang menjadikan pilkades sebagai arena totohan. Masalahnya, tak mudah untuk mendeteksi pihak-pihak yang melakukan totohan.
Yang lebih mudah adalah mencegah terjadinya wuwuran, dari mana pun asalnya. Sudah siapkah semua lapisan masyarakat, termasuk para tokoh lokal, Ketua RW dan Ketua RT untuk tidak mau menerima wuwuran? Semestinya merupakan tugas kita bersama untuk mengatakan, “TIDAK!” kepada wuwuran. Kita harus yakin kalau masih bisa mencari rezeki dengan cara yang halal dan lebih elegan. (*)
Achmad Marzoeki (Kang Juki)
Penulis novel “Pil Anti Bohong” dan “Silang Selimpat”.