Memilih dengan Keikhlasan, Mengakui Kepemimpinan yang Dipilih - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Memilih dengan Keikhlasan, Mengakui Kepemimpinan yang Dipilih

Seperti halnya upaya pemberantasan korupsi, perlawanan terhadap politik uang atau muwur juga masih menuai polemik. Ada saja yang menganggap muwur tak bisa dihilangkan, antara lain dengan alasan tradisi.
Memilih dengan Keikhlasan, Mengakui Kepemimpinan yang Dipilih
Kang Juki
www.inikebumen.net DI INDONESIA , setiap bentuk pemilihan identik dengan politik uang. Di Kebumen dikenal dengan istilah muwur, bagi-bagi uang kepada para calon pemilih.

Tak hanya pemilihan untuk duduk dalam pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif, tapi di lingkungan organisasi kemasyarakatan (ormas) juga terjadi seperti itu.

Padahal efeknya sudah sama-sama tahu, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kunjung berhenti. Selalu ada saja yang terkena.

Hampir semua orang juga percaya, tindak pidana korupsi yang nyata-nyata merugikan masyarakat, tak kunjung bisa dibasmi karena ongkos politik yang mahal, antara lain karena harus muwur. Apa keadaan ini harus dibiarkan terus menerus?

Seperti halnya upaya pemberantasan korupsi, perlawanan terhadap politik uang atau muwur juga masih menuai polemik. Ada saja yang menganggap muwur tak bisa dihilangkan, antara lain dengan alasan tradisi.

Apakah semua yang disebut tradisi harus dipertahankan? Tak sedikit tradisi yang memerlukan perjuangan panjang untuk bisa berubah. Salah satu contohnya adalah tradisi dalam buang air besar (BAB).

Perlu perjuangan panjang dan waktu yang lama untuk mengubah tradisi dalam BAB, dari semula di pekarangan atau sungai, pindah ke WC umum, sampai akhirnya setiap rumah membuat WC sendiri.

Mungkin sampai sekarang juga masih ada yang BAB di pekarangan atau sungai. Tapi pasti malu melakukannya. Sesuatu yang sudah terlanjur menjadi tradisi memang sulit diubah, tapi bisa. Hanya perlu perjuangan ekstra keras.

Pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan praktek penyelenggaraan pemilihan yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sudah sepatutnya dijadikan sarana untuk memulai pemilihan yang lebih bersih, tanpa dicemari politik uang.

Memang tidak bisa seketika bersih dari politik uang, tapi perlu pentahapan. Setidaknya yang masih melakukan merasa malu saat ketahuan, bukan seperti sekarang yang malah pamer, sudah menerima pemberian sekian ratus ribu rupiah dari beberapa calon kepala desa (cakades).

Setiap pemilihan harus dilakukan dengan keikhlasan, bahwa yang kita pilih memang mempunyai kelebihan dalam hal kepemimpinan. Kelak saat sudah terpilih, kita juga wajib mengingatkan manakala lalai dari tanggung jawab kepemimpinannya.

Jika para pemilih ikhlas memilih kepala desa, walau harus berkorban tidak bekerja sehari, insya Allah juga akan menghasilkan kepala desa yang mau berkorban untuk rakyatnya. Bagi yang belum siap berkorban meninggalkan pekerjaannya dan meluangkan waktu untuk memilih, lebih baik tetap bekerja.

Daripada memilih dengan pamrih, meminta pengganti tidak bekerja kepada para cakades. Kalau setiap pengeluaran atau potensi pendapatan yang hilang minta diganti, kapan mau berkorban? Kepada siapa pula nanti cakades yang kalah meminta ganti pengeluarannya?

Kalau cakades terpilih harus mengganti semua pengeluaran itu, dari mana pula dia mencari penggantinya? Dari Dana Desa? Lalu di mana pula makna kegotongroyongan yang sering kita dengungkan?  Monggo dipenggalih.(*)

Kang Juki 
Penulis adalah warga Desa Kutosari, Kebumen. Calon Pemilih.

Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>