Muwur dalam Perspektif Ekonomi
Kang Juki |
Kesenjangan teori dan praktek muwur dalam persepektif hukum membuat polemik kian tak berujung. Bagaimana jika muwur dilihat dalam perspektif ekonomi?
Dari sisi pemberi muwur, jabatan kepala desa (kades) dipandang sebagai alat produksi dan muwur merupakan salah satu komponen biayanya. Mari bandingkan nilai produksi jabatan kades dengan biaya produksinya.
Penghasilan kades bervariasi tergantung kondisi desanya, khususnya terkait luasan bengkok dan besaran Pendapatan Asli Desa (PADes) yang mempengaruhi besarnya penghasilan tetap (siltap). Misal penghasilan kades sampai 10 juta rupiah/bulan, berarti setahun 120 juta rupiah dan satu periode jabatan (6 tahun) 720 juta rupiah.
Jika jumlah pemilih pilkades 1.000 orang, muwur separuhnya dengan masing-masing 100 ribu, perlu biaya 50 juta. Belum biaya-biaya lainnya, sehingga total bisa 100 juta rupiah lebih.
Setelah menjadi kades, biaya sosial makin tinggi. Kian banyak orang yang mengundang saat hajatan atau tertimpa musibah. Tidak mungkin kades mengabaikan undangan warganya yang punya hajat.
Jadi pemikiran kades bakal berpenghasilan (resmi) tinggi itu hanya menghitung potensi penghasilan dengan mengabaikan pengeluaran. Realitas pelaksanaannya bisa lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. kades bisa mulai tergoda mengutak-atik APBDes. Ingat, sudah ada beberapa kades di Kebumen yang masuk penjara.
Lagi pula, masa kita mau memilih kades yang hanya menempatkan jabatannya sekadar alat produksi untuk keuntungan pribadi? Pemilih hanya diposisikan sebagai salah satu komponen biaya produksi karena harus diberi wuwuran?
Sekarang dari sisi pemilih. Dalih paling umum, wuwuran dianggap pengganti tidak kerja sehari. Dalih ini masih bisa diperdebatkan kelayakannya termasuk nominalnya.
Dulu hanya mau nyoblos diperlukan waktu sehari penuh, karena pelaksanaan pemungutan suara hanya menggunakan satu bilik suara. Pemilih terus penasaran mengetahui hasilnya, jadi bisa seharian di balai desa.
Sekarang kalau mekanisme pemungutan suara diubah menggunakan beberapa bilik suara. Waktu pemungutan suara dibatasi, orang bisa merencanakan alokasi waktu untuk ikut pemungutan suara. Bukankah orang tidak perlu waktu seharian untuk memilih? Penasaran dengan hasil, komunikasi sudah gampang. Dalih pengganti kerja sehari tak mengena.
Apalagi dengan besarnya nominal pengganti uang kerja. Mau dirata-rata sama? Apa penerima juga akan memperlakukan sama wuwuran dengan uang hasil kerja?
Ada ungkapan orang tua "Duit belis dipangan setan" (Uang iblis dimakan setan). Uang yang berasal dari jalan tidak berkah akhirnya digunakan untuk sesuatu yang tidak berkah juga. Silahkan cek sendiri bagi yang sudah menerima wuwuran, digunakan untuk apa.
Kalau semua pemilih sehari tidak bekerja dan diberi uang pengganti kerja, di desa dengan 1.000 orang pemilih diberi masing-masing 100.000 rupiah, akan ada pengeluaran 100 juta tanpa diikuti aktivitas produksi.
Itu baru satu desa, padahal pilkades serentak di Kebumen pada 25 Juni 2019 nanti dilaksanakan di 323 desa. Ada berapa miliar uang diberikan atas nama pengganti kerja?
Dalam perspektif ekonomi ketika ada distribusi uang dalam jumlah besar yang tidak diikuti aktivitas produksi akan terjadi inflasi dengan berbagai kemungkinan dampaknya. Sudah pasti, setiap peristiwa ekonomi yang paling rentan terdampak adalah rakyat kecil juga.
Akhirnya, menerima wuwuran hanya mendapat angin surga sesaat. Terlebih bila hanya gara-gara wuwuran yang kemudian terpilih adalah cakades kemaruk yang menginginkan modalnya segera kembali. Klamite (*)
Kang Juki
Penulis, warga Desa Kutosari, Kebumen. Calon pemilih.