Hijrah Tak Sekadar Pindah
Kang Juki |
Istilah hijrah kemudian mengalami perluasan makna untuk sebuah tindakan menuju kehidupan yang lebih baik, tak terkecuali untuk urusan dunia. Sehingga orang merantau pun kadang menyebut dirinya hijrah.
Perlu diketahui, Rasulullah SAW hijrah dari Mekah ke Madinah, tidak semata-mata mencari kehidupan yang lebih baik. Melainkan dalam upaya menyusun kekuatan yang bisa mendukungnya dalam mendakwahkan ajaran Islam.
Faktanya, usai hijrah pun Rasulullah SAW masih dikejar-kejar kaum kafir Quraisy, hingga terjadi perang Badar, Uhud, Khandaq dan sebagainya.
Karena itu dalam sebuah hadis dari Umar bin Khatthab ra, Rasulullah SAW mengingatkan, "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR Bukhari no. 52 dishahihkan ijma' ulama).
Sembilan tahun setelah hijrah, Rasulullah SAW akhirnya kembali ke Mekah secara damai bersama sekitar 10.000 umat Islam. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Fathul Makkah (Pembebasan Mekah). Lingkungan Kabah akhirnya bisa dibersihkan dari berhala-berhala yang semula menjadi sesembahan kaum kafir Quraisy.
Jadi bagi yang karena satu dan lain hal harus berpindah ke daerah lain, tidak seketika bisa disebut hijrah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Tergantung niat yang mendasarinya untuk pindah ke daerah lain tersebut.
Karena niat merupakan rahasia hati yang tak diketahui orang, hal itu bisa diindikasikan dari tindakan yang dilakukannya setelah pindah. Apakah dengan kehidupan yang lebih baik semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT atau justru sebaliknya.
Hijrah termasuk perintah bila memang di tempat asalnya kurang kondusif untuk melaksanakan ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Al Harits Al Asy'ari, Rasulullah SAW bersabda,
"Dan aku memerintahkan lima hal pada kalian yang diperintahkan Allah padaku, yaitu; mendengar, taat, jihad, hijrah dan jama'ah, sebab barangsiapa meninggalkan jama'ah barang sejengkal, maka ia telah melepas tali Islam dari lehernya, kecuali jika ia kembali. Dan barangsiapa menyerukan seruan jahiliyah, maka ia termasuk bangkai neraka jahanam." (HR Tirmidzi no 2790 dishahihkan Muhammad Nashiruddin Al Albani).
Janji Allah SWT kepada orang yang berhijrah, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah:218)
Sebaliknya, bila tinggal di daerah yang cukup kondusif, maka tidak perlu hijrah, melainkan menjadi anshar (penolong bagi yang hijrah).
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, "Kalaulah bukan karena hijrah, maka aku adalah seorang Anshar, kalaulah manusia mengarungi lembah dan Anshar mengarungi lembah lain atau lereng gunung, niscaya aku mengarungi lembah Anshar atau lereng gunung Anshar." (HR Bukhari no. 6703 dishahihkan ijma' ulama).
Bagaimana kondisi daerah tempat tinggal masing-masing bisa dinilai sendiri. Harus hijrah atau bisa menjadi anshar. Begitu juga jika hijrah dimaknai dengan perubahan perilaku.
Dari perilaku penuh maksiat, banyak mengabaikan perintah dan melanggar larangan Allah SWT menuju perilaku taat, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Perlu hijrah, atau sudah mampu menjadi anshar? Wallahu a'lam.(*)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.