Tadarus Al Quran, Mengambil Ibrah Sejumlah Kisah - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Tadarus Al Quran, Mengambil Ibrah Sejumlah Kisah

Kisah-kisah yang disebutkan dalam Al Quran seperti halnya peristiwa bersejarah, merupakan perulangan peristiwa dengan waktu, tempat dan pelaku berbeda. Substansinya selalu sama.
Tadarus Al Quran, Mengambil Ibrah Sejumlah Kisah
Kang Juki
INI Kebumen, SALAH satu kegiatan yang banyak dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan adalah tadarus (membaca) Al Quran. Yang sering kurang dipahami umat Islam, Rasulullah SAW di masanya hanya memerintahkan membaca Al Quran, karena yang dihadapi beliau adalah orang Arab dan Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab.

Sehingga bagi umat Islam dengan membaca Al Quran (lebih tepatnya melafalkan atau menghafalkan, karena di masa Rasulullah SAW naskah Al Quran belum dikumpulkan dalam satu buku), otomatis mengetahui arti bacaannya. Berbeda dengan orang Indonesia, kalau hanya membaca Al Quran belum tentu mengetahui arti yang dibaca.

Mengingat Al Quran adalah petunjuk bagi umat Islam agar bisa menjadi orang bertakwa, maka sudah sepatutnya tak hanya rajin dibaca tapi juga berusaha dipahami maknanya. Sehingga kita akan bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari beragam kisah yang banyak terdapat dalam Al Quran.

Jika disimak kisah-kisah yang disebutkan dalam Al Quran seperti halnya peristiwa bersejarah, merupakan perulangan peristiwa dengan waktu, tempat dan pelaku berbeda. Substansinya selalu sama.

Diawali dengan keberadaan suatu kaum yang mempertuhankan selain Allah. Maka diutuslah seorang nabi yang berasal dari mereka sendiri untuk mengajak kaumnya beriman kepada Allah. Kaumnya menolak ajakan tersebut. Sebagian ada yang diawali permintaan bukti, namun sesudah diberikan bukti tetap menolak.

Ketika bukti itu berupa azab, malah kaumnya menuduh sang nabi dan pengikutnya sebagai penyebab terjadinya azab. Akhirnya turun azab yang menghabiskan kaum yang kafir dan hanya menyisakan orang yang beriman.

Seperti yang disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 36-37, "Dan kepada penduduk Madyan (Kami telah mengutus) saudara mereka Syuaib, dia berkata, 'Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah pahala hari akhir, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi berbuat kerusakan.' Mereka mendustakannya (Syuaib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka."

Yang saat ini sering menjadi pokok perdebatan adalah beda pemahaman dan penerapan ajaran Islam. Meski masing-masing pihak mengambil rujukan ajaran Islam, namun perbedaannya bisa demikian tajam dan menjurus pada pertentangan.

Terlebih bila terkait tindakan yang membawa mudarat (kerugian) atau mafsadat (kerusakan) bagi sebagian masyarakat, namun dinilai bermanfaat bagi sebagian lainnya.

Larangan berbuat kerusakan ditegaskan dalam Al Quran surat Al A'raf ayat 56, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan."

Selanjutnya dalam sebuah hadis yang berasal dari Ibnu Abas ra dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat." (HR Ibnu Majah no. 2332 dishahihkan Muhammad Nashiruddin Al Albani).

Jika dipastikan akan terjadi pertentangan dua akibat dari sebuah tindakan semestinya juga tidak perlu menjadi ajang berdebatan. Dalam kaitan ini yang perlu dipahami adalah salah satu kaidah ilmu fikih, yakni, _"Menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”_

Mengingat demikian terang benderangnya panduan untuk bertindak menyikapi keadaan dalam ajaran Islam, apa saja masalahnya mestinya bisa dimusyawarahkan. Ketika masih terjadi perdebatan tajam, kemungkinan disebabkan salah satu pihak masih kurang pemahamannya tentang ajaran Islam.

Di sini perlunya masing-masing pihak mencerna pandangan dan pendapat pihak lain dengan pikiran yang jernih, bukan dengan perasaan. Perbedaan pendapat merupakan wilayah pemikiran, jika yang digunakan perasaan akan membuatnya jadi berlarut-larut.

Dianjurkan shalat tarawih di rumah dengan sejumlah pertimbangan dan rujukan dalil, dihadapi dengan perasaan, "Kurang mantap kalau tidak shalat tarawih di masjid." Tentu saja perbedaan pendapatnya hanya mengarah pada debat kusir tanpa membawa hasil.

Karena itu jika mengalami perbedaan pendapat, periksa kembali pendapat masing-masing. Dasar pendapatnya rujukan Al Quran, hadis, ijmak ulama atau hanya mengikuti perasaan pribadi saja? Hal ini penting agar kita tidak tergolong orang yang tak bisa diberi peringatan.

Seolah-olah sudah bertindak benar, padahal menempuh jalan yang salah dan tak juga mau berubah meski sudah berulang kali diingatkan. Sehingga Allah SWT kemudian menurunkan azab yang sangat pedih. Naudzu billahi min dzaalik.(*)

Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>