Silaturahmi, Tak Sekadar Bertegur Sapa (Bagian IV-Habis) - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Silaturahmi, Tak Sekadar Bertegur Sapa (Bagian IV-Habis)

Zina saat dilakukan suka sama, itu hanya dosa menurut ajaran Islam, tapi hukum positif yang dijalankan negara membolehkan. 
Silaturahmi, Tak Sekadar Bertegur Sapa (Bagian IV-Habis)
Kang Juki
INI Kebumen - JIKA  memahami pesan Abdullah bin Alawi untuk meninggalkan dan menjauhi pelaku maksiat, bisa dipahami bahwa memutuskan komunikasi tak identik dengan memutus silaturahmi.

Terlebih bila yang diputus komunikasinya terbukti merupakan pelaku kemungkaran atau maksiat, pelanggar larangan Allah SWT.

Putus komunikasi bisa bermakna putus silaturahmi jika penyebabnya lebih pada persoalan ketersinggungan pribadi. Bukan karena salah satu pihak berbuat kemungkaran dan melanggar larangan Allah SWT.

Abdullah bin Alawi mengemukakan keheranannya terhadap fenomena orang yang lebih peduli dengan ego pribadi dibanding masalah amar makruf nahi mungkar. Dikatakannya,

"Yang mengherankan ialah ada orang yang apabila dimaki atau diambil sebagian hartanya, dunia pun terasa sempit baginya dan ia tidak bisa diam dan tidak mengemukakan alasan-alasan yang biasa digunakannya ketika mendiamkan kemungkaran." (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah halaman 41).

Memang perkumpulan keluarga besar tidak memiliki legitimasi untuk menjatuhkan sangsi atau hukuman saat ada anggota keluarganya yang menjadi pelaku kemungkaran atau maksiat.

Apalagi bila perbuatan maksiat yang dilakukan juga tak masuk ranah pidana, sehingga negara juga tak bisa menjatuhkan hukuman. Misalnya zina saat dilakukan suka sama, itu hanya dosa menurut ajaran Islam, tapi hukum positif yang dijalankan negara membolehkan.

Kecuali salah satunya masih di bawah umur, atau punya pasangan resmi yang kemudian melaporkan perzinaan tersebut.

Namun jika keluarga besar kompak menjauhi anggotanya yang berbuat kemungkaran atau bermaksiat, akan menjadi pelajaran tersendiri bagi para pelaku kemungkaran dan maksiat.

Bentuknya bisa seperti yang dilakukan Rasulullah SAW saat menangguhkan penerimaan taubat tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam Perang Tabuk.

Ketiga sahabat tersebut yakni Ka'b ibnu Malik, Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah Al-Wafiqi. Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir terkait surat At-Taubah ayat 117-119, ketiganya tak memiliki uzur yang bisa membuat ketidakikutsertaannya dalam Perang Tabuk bisa diampuni. Berbeda dengan mereka yang memiliki uzur dan bisa diterima Rasulullah SAW, taubat mereka langsung diterima.

Rasulullah SAW mendiamkan ketiganya selama 50 hari, tanpa pernah menegur yang bersangkutan. Meskipun Ka'b bin Malik ikut shalat berjamaah, tak ada satupun yang menyapanya.

Baru setelah turun surat At-Taubah ayat 117-119, "hukuman" bagi ketiganya berakhir, sebagaimana disinggung dalam ayat 118,

"dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."

Pengalaman ini bagi Ka'b bin Malik sangat berharga sekali. Setelah turunnya ayat tersebut Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk menunjukkan tobatku, aku melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya."

Rasulullah SAW menjawab, "Peganglah sebagian dari hartamu, hal itu lebih baik bagimu."

Ka'b ibnu Malik menanggapi lagi, "Sesungguhnya aku hanya mau memegang bagianku yang ada di Khaibar."

Selanjutnya Ka'b ibnu Malik bertekad, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan sesungguhnya termasuk taubatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya selagi aku masih hidup." (Tafsir Ibnu Katsir surat At Taubah 118-119).

Mereka yang dituakan dalam keluarga besar, mungkin bisa menyontoh peristiwa tersebut saat ada anggota keluarga besarnya yang berbuat mungkar dan maksiat. Sehingga akan bisa dilihat apakah ada kemauan untuk memperbaiki diri atas kesalahannya sebagaimana ditunjukkan Ka'b ibnu Malik, atau tidak.

Dengan cara begitu silaturahmi keluarga besar bisa didorong untuk menegakkan amar nahi mungkar. Jika semua silaturahmi keluarga bisa diarahkan seperti itu, akan lebih mudah terwujud keadilan di tengah masyarakat.

Sehingga silaturahminya tak hanya bermanfaat bagi seluruh anggota keluarga besarnya saja, tapi juga ikut dirasakan masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab. (Selesai)

Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>