Kemampuan Orang Bertakwa: Membedakan Benar-Salah
Kang Juki |
Ada setidaknya lima akun youtube yang mengunggah ceramah tersebut, baik versi panjang (11,5 menit) maupun pendek (1 menit), yaitu: Syaamil Hijaz, mentari pagi, Akhmad Rifkiyansyah, Sekolah Akhirat dan Pemuda NU.
Yang paling substansial dari penjelasan Gus Baha adalah bahwa sikap netral dalam konflik sama saja dengan memosisikan kebenaran dan kesalahan setara.
Padahal Nabi Muhammad SAW tugasnya adalah sebagai furqan untuk memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Makanya menurut Gus Baha, Nabi pasti mengambil sikap bila melihat konflik. Tidak pernah netral.
Dibanding video ceramah Gus Baha yang lain, video tersebut paling sedikit penontonnya. Sampai tulisan ini dibuat, video yang diunggah akun Sekolah Akhirat dua bulan lalu, baru menjangkau 3,8 ribu orang.
Video dengan durasi hanya satu menit itu menjadi yang terbanyak dilihat dibanding video yang diunggah empat akun lain tiga bulan lalu. Padahal video ceramah Gus Baha lainnya, dalam rentang waktu sehari bisa dilihat sampai 40 ribuan pemirsa.
Nampaknya substansi ceramah tersebut kurang diminati, karena berbeda dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang umumnya enggan melakukan pemihakan saat menghadapi konflik di lingkungan sekitarnya.
Kalaupun mau mendekati pihak yang berkonflik, yang disampaikan adalah ungkapan klise, "Sing waras ngalah," (Yang pikirannya masih normal lebih baik mengalah). Sehingga yang terjadi bukan penyelesaian tapi pemenggalan konflik agar tak berlanjut.
Sikap netral adakalanya justru ditunjukkan dengan sikap bangga. "Saya berhubungan baik dengan kedua pihak yang berkonflik. Tidak enak memihak salah satu pihak, pasti akan membuat hubungan dengan pihak lain memburuk." Rasionalisasi alasan yang bisa jadi terasa logis.
Semakin terasa logis lagi saat alasan itu diperkuat lagi, "Masing-masing pihak punya alasan sendiri-sendiri yang harus dihormati. Saya kesulitan mendapatkan bukti untuk menyalahkan salah satunya. Maka bersikap netral adalah pilihan terbaik."
Berpijak pada realita tersebut, menjadi penting untuk mencoba memahami firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayat 29,
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan bathil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar."
Muhammad bin Ishaq bin Yasar atau Ibnu Ishaq, salah seorang tabi'in (generasi sesudah sahabat Nabi Muhammad SAW), sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibnu Katsir, mengatakan bahwa makna furqan pada ayat tersebut ialah pemisah antara perkara yang hak dan yang bathil. Pengertian ini oleh Ibnu Katsir dianggap paling mendekati.
Karena orang yang bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, berarti dia mendapat taufik untuk mengetahui perbedaan antara perkara yang hak dan yang bathil. Maka yang
demikian itu merupakan penyebab datangnya pertolongan Allah yang berupa jalan keselamatan dan jalan keluar dari semua urusan dunia, kebahagiaan di hari kiamat, penghapus segala dosa, serta menjadi penyebab beroleh pahala Allah yang berlimpah.
Karena mendapatkan furqan, maka seorang yang bertakwa, tidak akan mengalami kebingungan saat menghadapi situasi konflik. Ia bisa membedakan pihak yang benar dan yang salah dari mereka yang terlibat konflik.
Sehingga dengan demikian juga bisa segera memutuskan keberpihakannya. Di situlah kemampuan orang bertakwa teruji, bisa segera mengambil sikap terhadap konflik di lingkungan sekitarnya.
Jika orang yang bertakwa memiliki kewenangan, maka dengan cepat pula akan bisa menyelesaikan konflik yang terjadi. Sebaliknya bila terjadi konflik yang berlarut-larut di suatu tempat menunjukkan pihak yang memiliki kewenangan di situ, belum mencapai derajat takwa.
Secara pribadi, berhadapan dengan situasi konflik bisa menjadi sarana introspeksi. Bila tak mampu untuk segera menyikapi, berarti belum mendapatkan furqan, belum berhasil mencapai derajat takwa.
Masih harus meningkatkan komitmennya untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sudah sepatutnya merasa prihatin, bukan malah merasa bangga, terjadi konflik di lingkungannya tanpa bisa cepat memutuskan keberpihakannya.
Jika bisa segera menyikapi, bukan karena faktor like or dislike, melainkan setelah mendengarkan penjelasan atas sikap kedua belah pihak, mengindikasikan sudah mendapatkan furqan.
Namun keputusan keberpihakan itu juga mesti diikuti dengan langkah penyelesaian konfliknya, mendukung pihak yang benar dan meredam pihak yang salah. Bukan sekadar menjadikannya sebagai bahan bergunjing dengan orang lain.
Sehingga jelaslah bahwa pada dasarnya orang bertakwa juga akan memiliki kemampuan menyelesaikan konflik orang-orang di sekitarnya, karena kemampuannya membedakan yang benar dengan yang salah. Wallahua'lam bish-shawab.(*)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.