Nama Aslinya Fort Cochius, Benteng Van Der Wijck Bukan Dibangun 1818
Lembaran Kisah Sebuah Benteng Oktagonal di Gombong
Salah satu ruangan di dalam Benteng Fort Cochius atau Benteng Van Der Wijck |
Sekalipun nampak lusuh dan dilahap zaman, namun menyimpan lapisan demi lapisan kisah dari periode yang berbeda yang tidak banyak diketahui publik.
Menurut catatan N Rinandi F Suryaningsih, data keseluruhan benteng di Indonesia ada 442. Yang terbagi antara benteng buatan raja-raja Nusantara sebanyak 128 buah. Benteng era kolonial Portugis dan Belanda sebanyak 139 buah. Serta sistem/struktur pertahanan era Perang Dunia I dan II sebanyak 175 buah.
Dari 442 obyek, terdapat 9 benteng punah dan 64 benteng hancur dan 142 benteng berbentuk reruntuhan. Serta 226 benteng masih utuh.
Benteng Van der Wijk hanyalah salah satu dari sekian benteng buatan Belanda yang ada di Jawa. Namun, benteng ini merupakan satu-satunya benteng berbentuk segi delapan (oktagonal) di Indonesia.
Menariknya, desain Benteng Van Der Wijk berbentuk oktagonal. Dan tidak memiliki bastion di setiap sudutnya sebagai tempat menaruh senjata meriam.
Benteng ini memiliki tinggi 10 meter dan luas permukaan 7.168 m2. Dindingnya memiliki ketebalan 1,4 meter.
Struktur ini terdiri dari dua lantai, lantai pertama memiliki empat pintu masuk dan 16 kamar besar, masing-masing berukuran 18 m x 6,5 m.
Ada lagi 27 kamar dengan berbagai ukuran, 72 jendela, 63 menghubungkan dan keluar pintu, 8 tangga menuju ke lantai dua, dan 2 tangga darurat.
Di lantai dua terdapat 70 pintu penghubung, 84 jendela, 16 kamar besar masing-masing berukuran 18 m x 6,5 m, 25 kamar kecil dan 4 tangga menuju ke atap, 2 dari 4 tangga tersebut tidak diperuntukkan untuk umum, dengan kondisi masih asli.
Benteng ini memiliki atap piramida yang terbuat dari bata merah, dalam bentuk bukit-bukit kecil dengan 2 lubang ventilasi di atas. Atap berukuran 3 m x 3 m x 1,5 m. Ada dua jenis pintu: pintu utama dan pintu yang mengarah ke kamar. Pintu utama terdiri dari 4 buah masing-masing berukuran 3,25 m x 3 m sedangkan pintu kamar masing-masing berukuran 2,3 m x 2,1 m.
Strategi Benteng Stelsel Sebagai Penanda Kemenangan
Perang Jawa (1825-1830) yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro melawan kekuatan militer Belanda meninggalkan jejak kerusakkan materal dan finansial yang hebat di seluruh Jawa.
Sedikitnya 2 juta orang atau sepertiga penduduk Jawa terpapar perang dan seperempat lahan pertanian mengalami kerusakan. Serta 200 ribu orang Jawa tewas dalam konflik sengit tersebut.
Sementara itu di pihak Belanda mengalami kerugian yang sama. Dimana 7 ribu serdadu pribumi dan 8 ribu tentara Belanda tewas. Dan biaya perang yang harus dikeluarkan sebanyak 25 juta gulden yang setara 2,2 milliar dollar AS saat ini.
Periode tahun 1826 menjadi tahun kemenangan pasukan Diponegoro dan sejumlah kekalahan menjadi pil pahit bagi militer Belanda. Kekalahan ini lebih dikarenakan, “para pejabat Belanda tidak memahami hakikat perang yang mereka hadapi di Jawa”. Sejumlah latihan militer tentara Eropa klasik tidak sesuai dengan kondisi di Jawa yang bergunung dan penuh hutan lebat.
Strategi militer baru diperlukan untuk mengatasi taktik gerilya pasukan Diponegoro. Yang kerap melakukan serangan tiba-tiba kemudian menghilang cepat di bukit dan pegunungan.
Jendral de Cock mengatur ulang sebuah siasat baru untuk menghadapi kekuatan Diponegoro. Yang kemudian dikenal dengan strategi “benteng stelsel”.
Kunci sukses De Cock adalah sistem perbentengan darurat (benteng stelsel) yang sebelumnya sudah dirintis oleh Cochius.
Benteng stelsel menjadi sistem berperang (stelsel van oorlogen) yang baru yang diinisiasi Jendral De Cock tahun 1827 dengan melibatkan Letkol FD Cochius sebagai pembangun benteng. Benteng yang dibangun Cochius bersifat temporal dan tidak permanen sehingga siap dibongkar sesuai kebutuhan.
Benteng yang dibuat berbentuk persegi dan di sekelilingnya diperkuat dengan pagar batang pohon kelapa setinggi 7-8 kaki (1,70 m). Di sudut yang dipilih dibangun landasan untuk dua pucuk meriam.
Daya tampung benteng ini sekitar 20-30 orang prajurit. Strategi benteng ini bersifat ofensif dan defensif sekaligus. Konsepsi Stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial atau penaklukan total.
Fort Cochius: Dari Benteng Stelsel Menjadi Benteng Permanen
Wilayah Sedayu, Gombong dimana benteng Van der Wijk saat ini berada kala itu masuk kawasan Bagelen Tengah di mana di Desa Merden kawasan utara pun di tempatkan benteng stelsel.
Paska kekalahan Diponegoro benteng stelsel yang ada di Sidayu dibangun menjadi benteng permanen dari batu bata merah dengan bentuk oktagonal (segi delapan). Tidak ada kepastian mulai kapan benteng ini dibangun.
Tarikh 1818 yang tertulis di pintu masuk benteng Van der Wijk jelas keliru sama sekali dan tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan demikian. Jika benteng stelsel saja baru dipergunakan tahun 1827 untuk merespon Perang Jawa pada 1825, bagaimana mungkin tahun 1818 dimana belum terjadi Perang Jawa, menjadi sebuah tarikh pendirian benteng?
Dari sekian pelacakkan koran Belanda, Fort Cochius yang semula hanyalah benteng stelsel, mulai dibangun secara permanen pada tahun 1839. Namun mengalami sejumlah perbaikkan, renovasi pada tahun 1841-1844.
Bentuk oktagonal benteng tanpa bastion nampaknya memperlihatkan karakteristik benteng yang mulai dialih fungsikan dari benteng pertahanan menjadi pusat pendidikkan khususnya Pupillen School
Pergantian Fungsi Benteng
Jika saat terjadi kecamuk Perang Jawa (1825-1830), keberadaan Benteng Cochius sebelum dibangun permanen adalah untuk kepentingan penyediaan bahan makanan pasukan militer Belanda. Maka saat mulai dibangun keberadaannya (1839) kelak difungsikan menjadi Pupillen School atau Sekolah kadet Militer Belanda pada tahun 1858.
Saat pembangunannya telah melibatkan 1.400. Yang terdiri dari 1.200 pekerja yang tinggal di Bagelen dan sisanya dari penduduk Banyumas.
Buruh dijaga oleh para demong (demang) yang ditunjuk oleh warga masing-masing. Buruh masing-masing dibayar 15 sen per hari, sementara masing-masing demong yang mengawasi menerima 1 gulden sehari.
Bahan bangunan yang diperlukan seperti kapur dan kayu diambil dari sekitar Karesidenan Bagelen, sebagian besar dari Karesidenan Banyumas. Batu bata itu kemungkinan besar diproduksi dari tanah liat setempat di lokasi pembakaran lapangan.
Selama pendudukan Jepang (1942-1945), Fort Van der Wijck digunakan sebagai tempat pelatihan bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air - Pembela Tanah Air).
Para prajurit ditempatkan di barak militer yang dibangun di depan benteng. Sementara benteng yang tepat digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan senjata Jepang. Orang Jepang melukis semua tulisan Belanda di dalam benteng hitam dengan tujuan untuk menghapus pengaruh Belanda.
Sebelum Belanda kembali ke kota Gombong pada tahun 1947-1949, benteng itu digunakan sebagai markas komando Badan Keamanan Rakyat (BKR) sekitar tahun 1945-1947.
Benteng tersebut kemudian digunakan untuk mengakomodasi staf dan tentara Inspektorat Infanteri Bandung dan staf Layanan Kereta Api Bandung.
Menurut mantan personil BKR mereka hanya menggunakan barak militer di depan benteng sementara benteng dibiarkan kosong. Pada saat Agresi Belanda Pertama. Benteng Van Der Wijck digunakan oleh Belanda sebagai pos pertahanan depan mereka untuk menghadapi pasukan Republik Indonesia yang ditempatkan di sebelah timur Sungai Kemit
Dari Fort Cochius Menjadi Fort Van der Wijk
Sejak tahun 1984, kompleks benteng digunakan oleh Tentara Indonesia yang ditempatkan di Secata A - Sekolah Calon Tamtama (sekolah taruna) dan pada 28 Desember 2000 berubah menjadi taman hiburan yang dikenal sebagai Taman Ria Benteng Van Der Wijck.
Tidak ada keterangan yang jelas mengapa nama Van Der Wijk yang dipilih. Sementara nama sebenarnya dari benteng ini adalah Fort Cochius. Mayor van der Wijk sendiri adalah komandan kolone 8 di Yogyakarta pada tahun 1827.
Selengkapnya bisa disimak di video berikut: