Seniman, Pekerja Seni dan Penguasa
Oleh: Kang Juki
Pameran lukisan di Kebumen. (Ilustrasi) |
Emha menjelaskan pernyataanya. Bahwa jika ulama baru bicara tentang benar dan salah, seniman sudah berbicara tentang keindahan. Semestinya keindahan itu posisi dengan tingkatan lebih tinggi daripada kebenaran.
Alasan yang cukup masuk akal, meski mungkin bisa membuat orang yang menyandang predikat ulama ada yang tersinggung.
Masalahnya di dunia seni nyaris tak bisa dibedakan antara seniman dengan pekerja seni. Seniman mencari inspirasi untuk membuat karya, pekerja seni menjadikan karya untuk mencari penghasilan.
Bukan berarti seniman tak mau menjual hasil karyanya sama sekali, tapi tak mau menjual karyanya dengan harga murah. Bukan pula berarti sok jual mahal, tapi karena paham, karya seni tak bisa sembarang dinilai dengan nominal uang.
Jangan kaget bila mendengar harga selangit dari karya pelukis-pelukis ternama. Padahal orang awam pasti sulit memahami letak keindahan lukisan tersebut. Nyatanya ada saja yang membelinya.
Sebaliknya lukisan pemandangan bagus yang dijaja di pinggir jalan, harganya tak sampai sepuluh persennya, masih kesulitan mendapatkan pembeli.
Sekadar menyebut contoh, lukisan berjudul "Colosseum, Roma" karya maestro seni rupa Indonesia Affandi (1907-1990) laku HK$3,22 juta (Rp 5,59 miliar) pada April 2017 di Balai Lelang Sotheby's, Hongkong. Lukisan lainnya "Andong" laku HK$2,5 juta (Rp 4,34 miliar) pada November 2017 di Balai Lelang Christie's Hongkong.
Kemudian "Abstract Composition" karya pelukis religius Ahmad Sadali (1924-1987) juga terjual HK$3,22 (Rp 5,59 miliar) melalui lelang di Sotheby's Hongkong pada April 2017.
Baca juga: Tak Bisa Cari Nafkah, Seniman Campursari Jalan Kaki 13 Kilometer Sambil Panggul Organ
Bandingkan dengan hasil penjualan lukisan-lukisan yang dipajang di kios-kios pinggir jalan.
Tak hanya di dunia seni lukis menunjukkan beda level antara seniman dan pekerja seni. Dalam seni lain juga begitu, seperti sastra.
Tampil membaca puisi di panggung, bagi seorang WS Rendra tentu akan berbeda jauh honornya. Bahkan bila dibandingkan dengan seorang yang baru menjadi juara 1 lomba baca puisi, tingkat nasional sekalipun.
Tapi jangan keliru juga, tidak serta merta seorang seniman karyanya seketika mendapat penghargaan layak. Karya Affandi dan Ahmad Sadali harganya semakin mahal setelah keduanya meninggal.
Seniman Campursarri melakukan aksi jalan kaki sejauh 13 kilometer |
Seniman sejati tak akan mengeluh menjalani hidup ini, karena baginya hidup adalah untuk berkarya. Masyarakat mau menghargai karyanya atau tidak, di luar ekspektasi utamanya.
Jika ada yang suka mengeluh, apalagi sampai merengek berharap bantuan, itu masih level pekerja seni. Orang yang pekerjaannya memang di bidang yang terkait dengan seni.
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung setahun lebih, bagi seorang seniman bisa mendatangkan banyak inspirasi untuk melahirkan beragam karya.
Bagaimana nanti media yang bisa digunakan untuk bisa unjuk karya, juga semakin banyak alternatifnya. Perkembangan teknologi memberi banyak kemudahan, untuk berkarya dan mempublikasikannya.
Tidak demikian halnya bagi pekerja seni. Yang memiliki ketergantungan pada media tertentu untuk bisa unjuk karya. Maka ketika ada berita tentang seniman tak bisa mencari nafkah di masa pandemi, maka sejatinya itu seorang pekerja seni yang belum sampai level seniman apalagi maestro.
Terlebih ketika yang dilakukan kemudian adalah berjalan kaki 13 km hanya untuk mengadu kepada Bupati berharap bantuan atau fasilitas. Langkah yang lantas mendapat komentar dari salah satu akun facebook Kang Tobor Suwarno. Melalui statusnya dia menyindir, "Dum dum dum ... Seorang maestro luruh. Menjual diri. Bupati tak mengerti."
Tangkapan layar akun Facebook Kang Tobor Suwarno |
Dalam sebuah hadis yang berasal dari Mu'awiyah, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian terlalu mendesak dalam meminta. Demi Allah, jika seseorang meminta sesuatu dengan cara-cara pemaksaan lalu dikabulkan, maka permintaannya tidak diberkati." (HR Ahmad no. 16289 dengan isnad shahih menurut Syu'aib al-Arna'uth).
Dari sisi penguasa, peristiwa itu adalah kegagalan memperhatikan rakyatnya. Sampai ada warga yang harus ngoyo untuk mendapatkan perhatiannya.
Sambutan terhadapnya sekadar pencitraan atau bagian dari proses penyadaran? Bahwa yang mengalami seperti itu tak hanya pekerja seni, melainkan semua profesi juga ikut merasakan. Apa juga harus menempuh cara serupa untuk diperhatikan?(*)
Penulis adalah pegiat media dan jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.