Berbeda dengan Cepetan, Tari Danyang Watulawang Semua Penarinya Perempuan - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Berbeda dengan Cepetan, Tari Danyang Watulawang Semua Penarinya Perempuan

www.inikebumen.net KEBUMEN - Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen, resmi melaunching Tari Danyang Watulawang, Sabtu malam 21 April 2018. Launching tersebut digelar bersamaan dengan Pementasan Teater Ego berjudul "Terdampar" di Aula PGRI Kebumen. 
Berbeda dengan Cepetan, Tari Danyang Watulawang Semua Penarinya Perempuan
Para penari Danyang Watulawang, saat peluncuran di Aula PGRI Kebumen, Sabtu malam 21 April 2018.
Tari yang terinspirasi daru seni dangsak itu diluncurkan oleh Ketua DKD Kebumen, Pekik Sat Siswonirmolo. Hadir pada acara tersebut Staf Ahli Bupati RAI Ageng Susilo Handoko, serta para seniman dan budayawan Kebumen.

Pekik Sat Siswonirmolo, menuturkan hadirnya Tari Danyang Watulawang diharapkan bisa memperkaya khasanah kesenian khas Kebumen. "Tari Danyang Watulawang merupakan hasil kreasi dari Sanggar Seni "Sesanti Bumi" Kebumen," ujar Pekik Sat Siswonirmolo, disela-sela launching. 

Ia menjelaskan, tarian tersebut merupakan hasil kreasi tiga koreografer alumni Universitas Negeri Semarang (Unes). Yakni Esti Kurniawati, Ari Setyawati, Vera Setia Pratama. Ketiganya sekaligus  menarikan hasil kreasinya bersama dua penari lainnya, yaitu Putri dan Risma.

Tari Danyang Watulawang diinspirasikan dari seni Dangsak atau dikenal juga dengan nama tari Cepetan, yang merupakan tarian tradisional Kebumen. Tarian ini dikenal secara turun temurun di beberapa desa di Kebumen, antara lain Desa Watulawang Kecamatan Pejagoan. Selain merupakan karya adiluhung para leluhur, seni Dangsak juga mengandung nilai-nilai heroik dan patriotisme dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia.

Pada masa kolonialisme Belanda, kawasan pegunungan di Kebumen utara merupakan wilayah yang menjadi sasaran para onderneming (mandor) Belanda, meluaskan wilayah perkebunan untuk memperkaya bangsa penjajah. Dimunculkannya Dangsak di masa itu adalah untuk menakut-nakuti para mandor Belanda, sehingga akhirnya mereka gagal memperluas perkebunannya ke wilayah Kebumen utara.

Namun dari sisi artistik, seni Dangsak dinilai beberapa pihak kurang bisa "dijual", khususnya di dunia entertaintment. Masalah ini kerap menjadi topik perbincangan di kalangan seniman dan budayawan yang sering berkumpul di Rumah Budaya "Bumi Bimasakti" Kauman, Kebumen.

Dari berbagai perbincangan tersebut membuat tiga koreografer perempuan dari Sanggar Seni "Sesanti Bumi", yakni Esti Kurniawati, Ari Setyawati dan Vera Setia Pratama tertantang untuk menguji kemampuannya. Ketiganya mencoba mengolah dan mengemas kembali gerakan tari Cepetan agar bisa lebih artistik dan memiliki "nilai jual".

Hal inilah yang kemudian memunculkan ide lahirnya tari Danyang Watulawang. Jika tari Dansak atau Cepetan penarinya laki-laki semua, maka tari Danyang Watulawang penarinya perempuan semua.(*)
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>