Haruskah Warung dan Restoran Tutup Selama Ramadhan? - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Haruskah Warung dan Restoran Tutup Selama Ramadhan?

www.inikebumen.net ALLAH SWT berfirman dalam surah Al Baqarah (2) ayat : 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Haruskah Warung dan Restoran Tutup Selama Ramadhan?
Agus Hasan Hidayat, SSi MT
Umat islam di indonesia tengah memasuki bulan yang sangat mulia yaitu bulan Ramadhan. Beragam sikap dari masyarakat indonesia menyikapi datangnya bulan ramadhan, ada yang sangat antusias penuh kegembiraan menyambut kedatangannya, ada yang biasa saja bahkan tidak sedikit pula yang kuatir, was-was dan bersikap kurang bergairah karena ada yang merasa terganggu irama aktivitas kehidupan kesehariaannya. Salah satu yang seringkali merasa tidak bergairah adalah para pedagang makanan yang biasa membuka dagangannya di waktu siang hari sehingga merasa bahwa bulan ramadhan ini dipastikan pengunjung warungnya akan sepi.

Kita tidak bisa serta merta menyalahkan segelintir orang yang kurang bergairah dalam menyambut bulan mulia ini, karena semua individu berhak memiliki pandangan sesuai dengan pikirannya lagi pula tingkat keimanan dan ketaatan orang dalam beribadah jelaslah beragam. Akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah permasalahan apa yang menyebabkan mereka kurang bergairah dalam menyambut bulan mulia ini, benarkah bulan yang begitu mulia ini malah menyebabkan kesengsaraan atau kesulitan bagi umat atau sebagian umat yang menjalaninya?

Ditambah lagi seringkali yang terjadi adalah tindakan sekelompok orang yang mengatasnamakan “pejuang dijalan Allah” dan pengawal kesucian dan kehormatan bulan mulia ini secara membabi buta melakukan penertiban atau yang sering disebut dengan Sweeping terhadap para pedagang makanan, pedagang minuman dan juga restoran yang buka di siang hari.

Sekelompok orang yang sangat antusias dan “merasa” penuh keimanan di dada dengan sikap yang terkadang arogan, anarkis penuh emosi memporak-porandakan gerobak pedagang kaki lima, warung pinggir jalan (meski sudah menutup warungnya dengan kain agar tidak terlalu fulgar berdagang makanan) dan juga hal-hal yang dianggap menodai kesucian bulan ramadhan yang mulia ini. Sebuah Ironi memang, segelintir orang yang dengan penuh semangat beribadah puasa di bulan ramadhan akan tetapi malah berlaku tindakan anarkis, emosional dan penuh angkara, dipertontonkankan disaat mereka sedang menjalani ibadah puasa.

Bukankah sejatinya puasa ramadhan adalah mengendalikan hawa nafsu dan belajar untuk senantiasa berbuat kebaikan? Dan lebih ironis lagi bukankah masyarakat kita tidak semuanya beragama islam dan tentu mereka tidak wajib menjalankan puasa ramadhan karena puasa ramadhan hanya wajib bagi umat islam? Bagaimana masyarakat non muslim ini jika mereka berkeinginan makan di warung atau restoran jika semua warung dan restoran tutup?

Selanjutnya, bagaimanakah dengan pemegang regulasi ? dalam hal ini pemerintah yang tentunya harus memiliki sikap yang jelas dengan keadaan yang terjadi di masyarakat? yang kadang berdalih bahwa masalah agama bukanlah urusan pemerintah ? persoalan agama ( baca : ramadhan ) adalah persoalan yang hanya tepatnya ditangani oleh lembaga keagamaan seperti MUI, Ormas Islam, dan para tokoh agama di masyarakat ? Pertanyaan besar muncul : Bukankah negara kita bukan penganut paham sekulerisme? Dan negara adalah lembaga sah yang wajib mengatur dan memelihara ketertiban dan ketrentaman di masyarakat?

Disinilah perlunya kesatuan pandangan dan sikap dari pemerintah, organisasi keagamaan, dan tokoh masyarakat dalam hal ini pemuka agama beserta seluruh elemen bangsa dalam menyikapi kondisi dan dinamika yang terjadi di masyarakat menyangkut kebebasan dalam memaknai sebuah ibadah sebagai kebutuhan dan jalan hidup setiap individu. Satu bentuk penghargaan atas keragaman dalam menyikapi kebebasan dalam beribadah adalah bagaimana setiap individu berhak dan wajib menjalani ibadahnya tanpa paksaan, intimidasi dan tidak pula berarti harus berhenti menjalani aktifitas duniawinya.

Bukankah Allah SWT juga memberikan rambu-rambu kepada umatnya dalam FirmanNya surat Al Baqarah ayat 256 : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Jelaslah bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama islam akan tetapi jika mereka telah beragama islam, maka wajiblah mereka mematuhi hukum-hukum (syariat) islam sebagai manifestasi persyahadatannya kepada Allah dan Rasulullah.

Maka dari itu marilah marilah menjalankan peribadatan kita sebagai wujud ketundukan kepada ilahi rabbi (taqwa) namun tetap mengedepankan toleransi serta menunjukkan tingginya ajaran islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Billahi taufiq wal hidayah.(*)


Agus Hasan Hidayat, SSi MTPenulis adalah Ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kebumen Bidang Hikmah, Kebijakan Publik, Hukum dan Hak Asasi Manusia
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>