Tak Mudah Untuk Menjadi Koruptor
Kang Juki |
Persepsi masyarakat dan opini yang entah sengaja atau tidak dibangun di media sosial (medsos), korupsi dengan mudahnya bisa dilakukan oleh seorang aleg, bupati dan wakilnya.
Selain menyesatkan, persepsi tersebut juga tak akan membantu menurunkan tingkat korupsi. Dalam prakteknya, tak mudah seorang aleg, bupati atau wakilnya, melakukan korupsi sendirian, tanpa dukungan para staf di sekelilingnya.
Salah satu lahan korupsi adalah dalam pengadaan barang dan jasa. Bentuk akhir dari korupsinya kalau tidak pengadaan fiktif adalah penggelembungan (mark up) harga. Keduanya tak mungkin dilakukan seorang pejabat sendirian, bupati sekalipun.
Jika dilakukan secara prosedural, pengadaan barang dan jasa, diawali dari penyusunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD) pada setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Berlanjut pada penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai ditetapkan menjadi Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan, persiapan pengadaan dilakukan antara lain dengan menetapkan spesifikasi barang dan jasa yang mau diadakan, lalu dibuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Jika harus dilakukan dengan lelang, karena pagu pengadaannya lebih dari 200 juta rupiah, bukan OPD bersangkutan yang memilih penyedia barang dan jasanya, melainkan Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Setelah penyedia barang/jasa terpilih, proses pengadaan didasarkan pada kontrak yang disepakati dan pelaksanaannya sampai selesai ada yang mengawal. Ada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Hasil pengadaannya mesti diperiksa dulu oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), baru kemudian bisa dibuat tagihan pembayaran.
Realisasi anggaran nantinya secara internal Pemkab juga akan diperiksa Inspektorat. Sementara secara eksternal bisa diperiksa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dengan alur yang demikian panjang, tidak mungkin ada pelaku tunggal saat terjadi penggelembungan harga atau pengadaan fiktif. Sehingga jika korupsi sampai terjadi, dikarenakan aparat sipil negara (ASN) yang berkewajiban melaksanakan tugas-tugas tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan benar.
Dengan demikian bila ingin menurunkan kasus korupsi, pembinaan mental dan karakter terhadap para ASN yang terlibat dalam perencanaan, penganggaran serta pengadaan barang dan jasa, mutlak diperlukan.
Secara kolektif, mereka bisa membuat perbuatan korupsi yang semestinya sulit jadi lebih mudah dilakukan. Padahal saat koruptor utama ditangkap, mereka masih tetap bisa lenggang kangkung, dengan dalih hanya menjalankan perintah atasan.
Seharusnya perintah atasan jika terindikasi melanggar peraturan perundangan, mereka tanggapi dulu dengan telaah staf, untuk mengingatkan agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Pejabat yang menerima telaah staf tak semestinya mengabaikan, karena pelanggaran yang terjadi setelah diingatkan, hukumannya tentu lebih berat. Di Kebumen, adakah ASN yang berani membuat telaah staf saat mendapat perintah atasan yang melanggar peraturan perundangan?(*)
Kang Juki
Penulis adalah moderator group facebook Suara Rakyat Kebumen.