New Normal dan Layanan Publik Pemerintahan
Taraf Kurniadi (Foto: Dokumen Pribadi) |
Rapat dan konsolidasi dilakukan melakukan berbagai aplikasi daring, baik yang berbayar maupun gratisan. Semua itu dilakukan untuk menunjang aktivitas agar layanan publik terjaga.
Tiga bulan terakhir ini sejak pandemi COVID 19, baik ASN pemerintah maupun publik makin familiar dan merasakan manfaat aplikasi daring tersebut untuk menunjang pelayanan publik pemerintah.
Upaya pelayanan dan informasi bagi publik, bisnis, dan layanan pemerintahan lainnya perlu ditopang dengan teknologi informasi daring atau dikenal dengan e-government terlebih pasca pandemi COVID 19 yang trendnya melandai. Atau sering disebut dengan New Normal ini.
Jauh sebelum isu pandemi ini, implementasi e-government sendiri sebelumnya telah diatur dengan Instruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-government yang menjadi gerbang perkembangan e-government Indonesia selanjutnya.
Layanan e-government utama diklasifikasikan menjadi Government to Citizen (G2C), Government to Business (G2B), Government to Government (G2G) dan Government to Employee (G2E) menurut Indrajit (2002) dan Aprianty (2016).
Tipe G2C merupakan penyediaan berbagai portofolio teknologi informasi untuk berinteraksi dengan publik seperti layanan perpanjangan SIM/STNK online. Tipe G2B merupakan penyediaan pelayanan informasi dan berkaitan dengan hak dan kewajiban entitas bisnis yang berorientasi profit seperti untuk layanan e-procurement pengadaan barang/jasa pemerintah.
Tipe G2G digunakan untuk interaksi antar negara yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses politik, dan hubungan sosial budaya, misalnya digunakan intelijen untuk mengakses data orang ‘terlarang’ ke suatu negara. Tipe G2E diperuntukkan internal bagi para staf di instansi pemerintahan seperti sistem aplikasi kesehatan terintegrasi .
Tantangan e-government
Berdasarkan hasil survey EGDI (E-Government Development Index) 2018 yang dipublikasikan PBB, perkembangan e-government Indonesia cukup tertinggal sekalipun dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.
Posisi Indonesia berada pada peringkat 107. Posisi ini jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura (peringkat 7), Malaysia (peringkat 48), Brunei Darussalam (peringkat 59), Thailand (peringkat 73), Philippines (peringkat 75), dan Vietnam (peringkat 88).
Sejumlah tantangan menghantui penerapan e-government di Indonesia. Dalam pandangan penulis, problem tersebut diantaranya adalah adanya kesenjangan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, pemerintah tengah membangun proyek Palapa Ring yang merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik sepanjang 36.000 kilometer yang akan menjangkau 440 kota/kabupaten seluruh Indonesia dengan skema Publik Private Partnership (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha).
Tantangan yang tak kalah pentingnya adalah keandalan ASN dalam mengimplementasikan e-government. Proses bisnis yang jelas dan keterampilan ASN dalam mengoperasionalkan perangkat dibutuhkan agar mampu melayani publik dengan optimal. Jika diperlukan, Pemerintah harus memfasilitasinya dengan diklat/workshop sehingga pelayanan kepada publik tidak terkendala sama sekali.
Problem lainnya adalah tarif internet Indonesia yang masih tergolong mahal jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand seperti yang pernah dilansir laman hitekno.com sehingga terjadi kesenjangan akses. Publik akan nyaman mengakses layanan e-government jika pengguna layanan juga diperhatikan agar familiar (user friendly) dengan infrastruktur aplikasi layanan yang memadai dan terjangkau.
Problem terakhir yang perlu diantisipasi adalah sisi keamanan data (data security system) yang perlu dipelihara dengan hati-hati. Kerahasiaan data merupakan hal sangat penting bagi instansi ataupun bisnis apapun karena jangan sampai terjadi kebocoran atau penyalahgunaan data.
Momentum
Ekspektasi pemanfaatan e-government adalah perbaikan kualitas pelayanan publik, transparansi, akuntabilitas pemerintahan, efisiensi, potensi pendapatan pemerintah, pemberdayaan publik dalam kebijakan publik serta aksesibilitas yang lebih baik. Pada banyak instansi pemerintah e-govrnment sudah dilakukan seperti oleh Kominfo, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Luar Negeri, Pemrov DKI, Pemkot Surabaya dan Kota Bandung dan juga Pemda Kebumen.
New Normal bisa menjadi momentum e-government untuk digunakan secara lebih masif. Terlebih Perpres 95 Tahun 2018 sebagai kelanjutan Inpres 3 Tahun 2003 telah mengamanatkan instansi pemerintah pusat maupun daerah harus menggunakan aplikasi SPBE (e-government) umum paling lambat dua tahun setelah Perpres ditetapkan setidaknya untuk layanan pemerintahan di bidang perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah, akuntabilitas kinerja, pemantauan dan evaluasi, kearsipan, kepegawaian,dan pengaduan pelayanan publik.(*)
Taraf Kurniadi
Kasi Perencanaan dan Proses Bisnis Setelmen- ASN DJPPR-Kemenkeu.
(Tulisan ini opini pribadi yang tidak mewakili institusi tempat penulis bernaung)