Silaturahmi, Tak Sekadar Bertegur Sapa (Bagian I)
Tampilan aplikasi video conference, Zoom. Aplikasi ini digunakan untuk silaturahmi daring. (Ilustrasi) |
Jika merunut asal katanya, maka silaturahmi mestinya digunakan untuk kegiatan di lingkungan yang masih ada hubungan kekeluargaan. Sementara untuk lingkungan yang bersifat umum biasanya digunakan istilah halal bi halal. Meski menggunakan bahasa Arab namun merupakan istilah khas Indonesia yang tak dikenal di negara lain termasuk Arab Saudi.
Rasulullah SAW memang menganjurkan umat Islam untuk menjaga silaturahmi. Sabda beliau, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi." (HR Bukhari no. 5673 dishahihkan ijmak ulama).
Sementara dalam hadis yang lain disebutkan, "Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi." (HR Bukhari no. 5526 dan 5527, Muslim no. 4638 dan 4639, semuanya dishahihkan ijmak ulama).
Namun yang perlu dipahami, silaturahmi tak hanya saling bertemu atau saling berkunjung. Kalau sekarang ditambah tak sekadar saling bertegur sapa, yang bisa dilakukan secara online.
Bagi orang yang mampu, silaturahmi bisa diikuti dengan memberikan infak kepada kerabatnya yang kurang mampu. Kegiatan ini mestinya lebih didahulukan sebelum berinfak kepada anak yatim dan fakir miskin.
Allah SWT berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang harta yang mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta yang kalian infakkan hendaknya diberikan kepada orang tua, para kerabat, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Semua perbuatan baik yang kalian lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.‘” (QS Al-Baqarah:215).
Jangan sampai terjadi, seorang kaya yang dikenal dermawan, suka membantu anak yatim dan orang miskin, ternyata masih memiliki kerabat yang miskin.
Membantu kerabat yang miskin memang kurang diketahui publik, dibandingkan memberi bantuan secara umum kepada anak yatim dan orang miskin. Namun pemberian infak kepada kerabat yang miskin, mempunyai dua fungsi sekaligus, membantu dan menjaga silaturahmi.
Silaturahmi mestinya juga diisi dengan kegiatan amar makruf nahi mungkar. Karena itu merupakan salah satu ciri berkumpulnya orang-orang beriman. Allah juga berfirman,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS At-Taubah:71).
Jika kita hendak menjadikan keluarga besar menjadi perkumpulan orang yang beriman, seyogyanya memperhatikan perintah Allah SWT tersebut. Sehingga sudah seharusnya ada keterbukaan seluruh anggota keluarga besar terhadap aktivitas dan rutinitas harian masing-masing.
Tidak ada perasaan dikepoin oleh kerabat lainnya saat ditanyakan aktivitasnya atau dicampuri urusannya saat dikoreksi tindakannya. Karena muaranya adalah untuk saling menjaga dan saling mengingatkan sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar.
Yang umumnya terjadi, pertemuan-pertemuan keluarga besar terjebak dalam suasana formalitas dan basa-basi. Spirit silaturahmi untuk beramar makruf mungkin ada, misal dengan membuat yayasan sosial untuk mewadahi kegiatan amal seluruh keluarga besar. Namun untuk nahi mungkar jarang terlihat, malah mungkin dihindari.
"Tak usah membicarakan masalah si Fulan yang kena kasus korupsi dalam pertemuan keluarga nanti. Bisa mengganggu suasana pertemuan keluarga." Biasanya begitu pesan orang tua kepada anak-anaknya sebelum menghadiri pertemuan silaturahmi keluarga besar.
Demikian juga saat ada anggota keluarga besar yang terlibat kasus lainnya, pertemuan silaturahmi keluarga besar akan terkesan menghindari untuk membicarakannya. Sehingga kesannya keluarga besar menjadi "tempat berlindung" bagi mereka yang terkena kasus, seolah-olah tidak ada apa-apa.
Dalih menjaga kerukunan keluarga, membuat jarang yang mau berupaya membahas "pembinaan" terhadap anggota keluarga yang berperilaku buruk. Semua dianggap baik-baik saja, walau ada yang kasusnya sudah dibuktikan dalam putusan pengadilan dan terbukti bersalah. (Bersambung)
Kang JukiPenulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.