Kepala SMK Muhammadiyah Petanahan Tegaskan Watak Kader Pergerakan
Upacara memperingati HUT ke-75 Kemerdekaan RI di SMK Muhammadiyah Petanahan |
Hal itu dilakukannya saat menjadi pembina upacara memperingati HUT ke-75 Kemerdekaan RI di halaman sekolahnya, Senin 17 Agustus 2020.
"Pertama, dia adalah seorang pemaaf dan tidak pendendam. Sebagaimana akhlak dan perilaku Rasulullah SAW. Kedua, kader Muhammadiyah itu anti sambat (mengeluh). Karena apa pun keadaannya membawa kebaikan untuk dirinya," jelas kepala sekolah yang akrab dipanggil Mas Koko ini.
Terkait watak pemaaf dan tidak pendendam, Mas Koko mencontohkan peristiwa yang pernah dialami salah satu tokoh Muhammadiyah. Yang sekaligus merupakan Ketua Umum MUI Pusat pertama kali, yakni H Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Awal Ramadhan 1383 H, lanjut dia, sekitar pukul 11.00 WIB, Hamka dijemput paksa dari rumahnya. Ulama yang pernah mendapat gelar Ustadzah Fakhriyyah, gelar ilmiah dari Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, itu dituduh terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Karena itu, Hamka mesti mendekam selama 15 hari di Sukabumi.
"Tanpa melalui proses peradilan, beliau diinterogasi dalam pemeriksaan yang tak kenal waktu," ungkap Mas Koko.
Hamka sendiri menurut Mas Koko, menggambarkan pemeriksaan tersebut dengan, "Tidak berhenti-henti, siang-malam, petang-pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja."
Diceritakan lebih lanjut oleh Mas Koko bahwa saat sakaratul maut Bung Karno berwasiat, "Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku."
"Terjadilah apa yang mesti terjadi, Hamka pun menjadi imam yang pernah menyalati jenazah presiden yang pernah memenjarakannya," lanjutnya.
Selain Hamka, Mas Koko juga mengisahkan beberapa kader Muhammadiyah lainnya yang punya peran di masa awal kemerdekaan RI.
Tiga orang anggota BPUPKI yang ikut dalam Tim Sembilan merupakan kader Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo dan Abdul Kahar Mudzakkir.
Ketika ada polemik tentang Piagam Jakarta, menurut Mas Koko, Kasman yang ditugaskan melobi tokoh-tokoh muslim untuk dengan ikhlas menghapus kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Seorang kader Muhammadiyah lainnya yang tak boleh dilupakan adalah Soedirman.
"Beliau seorang kader Hizbul Wathan (HW), gerakan kepanduan Muhammadiah sekaligus guru di perguruan Muhammadiyah," imbuh Mas Koko.
Saat Yogyakarta yang ketika itu merupakan ibukota RI, Soedirman atas arahan, restu dan doa Nyai Ahmad Dahlan, kemudian menggalang kekuatan rakyat.
Sehingga terjadilah sebuah peristiwa, yang kemudian dikenal dengan sebutan Serangan Oemoem 1 Maret.
"Sebuah peristiwa yang membuka kembali mata dunia, bahwa eksistensi NKRI masih ada. Itulah kenapa, Bung Karno memanggilnya dengan Panglima Besar Soedirman," jelasnya.
Mengakhiri pesan peringatan kemerdekaan, dalam upacara yang menerapkan protokol kesehatan, Mas Koko mengajak kader Muhammadiyah untuk terus berfastabiqul khairat, atau berlomba-lomba dalam kebaikan.(*)