Pilkada Tanpa Lawan Tanding
Oleh: Agus Khanif
Agus Khanif |
Dari jumlah tersebut, terdapat 25 daerah yang diisi pasangan calon tunggal. Di Jawa Tengah sendiri, dari 21 kabupaten atau kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020, ada 6 calon tunggal yang akan melawan KOKO (Kotak Kosong). Calon tunggal tersebut terjadi di Kota Semarang, Kabupaten Sragen, Boyolali, Grobogan, dan Kebumen.
Mereka nampaknya meyakini bahwa calon tunggal masih berpeluang besar menjadi pemenang, yang bisa dijadikan modal untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Mesin parpol mandul
Aneh! Ini menjadi anomali dalam praktek demokrasi di Indonesia. Fenomena tersebut harusnya tidak terjadi. Apalagi di tengah sistem multipartai. Mestinya parpol mampu melahirkan kader-kader berkualitas yang siap berlaga di ajang pilkada.
Namun yang terjadi sebaliknya. Parpol justru mandul melahirkan kader-kader yang mumpuni dalam kompetisi politik. Mereka tidak berani mengusung kadernya sendiri untuk memperebutkan kursi kekuasaan.
Padahal biasanya mereka gemar berebut kuasa. Mengapa saat dihadapkan pada pilkada jadi loyo? Ini menunjukkan bahwa kaderisasi dan pendidikan politik oleh parpol tidak berjalan.
Peluang ini akhirnya direbut oleh mereka yang hanya mengandalkan pamor atau popularitas. Ada pula yang mengandalkan kekuatan finansial. Padahal dari segi kualifikasi, belum tentu memenuhi standar kelayakan sebagai calon kepala daerah yang baik.
Munculnya kandidat dari kalangan keluarga Joko Widodo kian memperkuat asumsi tersebut. Gibran Rakabuming Raka, misalnya, dengan mudah bisa menggeser Ahmad Purnomo, yang lebih awal digadang-gadang sebagai bacalon Walikota Solo. Apalagi bila ada campur tangan ayahnya, yang kebetulan sedang menjabat sebagai Presiden.
Belum Tentu Menang
Popularitas dan kuatnya finansial memang penting bagi seorang kandidat. Namun itu semua belum cukup untuk bisa meraup suara banyak dan menang di pilkada. Banyak faktor lain yang ikut berperan. Dan ini tidak bisa disepelekan. Soal kredibilitas kandidat, misalnya, sangat berpengaruh terhadap elektabilitas atau keterpilihan.
Walaupun menjadi calon tunggal, bila tidak memenuhi kualifikasi memadai dalam aspek integritas moral, kompetensi, dan kapasitas, rakyat juga bakal emoh memilihnya.
Apalagi bila kandidat tersebut memiliki rekam jejak negatif. Misalnya terindikasi kuat pernah masuk dalam lingkaran korupsi, narkoba, judi, atau tindak kriminal lainnya. Rakyat pemilih tentu khawatir, kandidat tersebut akan mengulangi perilakunya saat berkuasa nanti.
Track record yang positif bagi calon pemimpin memang teramat penting. Masa lalu yang kelam dari seorang kandidat bisa berakibat fatal bagi daerah dan rakyat yang dipimpinnya. Kalau baru saja menjabat, ternyata kemudian bermasalah dengan hukum, maka rakyat juga ikut menanggung aibnya.
Lebih dari itu, masyarakat juga sangat kecewa terhadap partai politik yang terkesan sangat pragmatis, dan jauh dari sikap idealis. Parpol terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri. Meraka takut kalah sebelum bertanding, sehingga tidak berani menyodorkan kader terbaiknya untuk ikut berlaga.
Padahal dalam logika para pemilih, yang namanya memilih itu minimal ada dua pilihan yang berbeda. Bukan hanya satu, yakni Calon Tunggal.
Kalau hanya satu, buat apa ada pilihan yang memakan banyak biaya. Langsung saja aklamasi dan penetapan, cukup! Toh rakyat tidak bisa memilih, karena memang tidak ada pilihan, kecuali hanya “setuju” dan “tidak setuju”.
Dinamika politik elektoral yang tidak sehat pada pilkada yang hanya memunculkan calon tunggal tersebut membuat masyarakat pemilih kian kecewa. Saluran kekecewaan dan protes masyarakat tersebut bisa dalam bentuk golput, dan bisa lebih memilih Koko.
Walaupun berdasarkan _ngelmu titen_ calon tunggal tidak mudah dikalahkan, namun kondisi sekarang sudah jauh beda. Akumulasi kekecewaan rakyat terhadap elit parpol dan banyaknya pejabat yang korup, telah memunculkan riak-riak protes di sana-sini.
Riak-riak kecil tersebut kemudian dengan cepat menimbulkan gelombang besar yang berpotensi bak tsunami pada gelaran pilkada serentak nanti. Bila sampai terjadi, maka akan meluluh-lantahkan impian para elit parpol, para cukong, dan tentu calon tunggal itu sendiri.
Maka, walaupun menjadi calon tunggal harus tetap hati-hati, karena tidak ada jaminan pasti jadi. Sebab, mengamati maraknya sosialisasi Koko di medsos dan obrolan di pojok warung kopi akhir-akhir ini, nampaknya Koko kian banyak mendapat simpati.
Selamat berkompetisi memperebutkan kursi di era pandemi. Apa pun hasilnya nanti, semoga di antara kita tetap terjalin erat tali silaturahmi.(*)
Agus Khanif, Penulis adalah anggota KBPII (Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia) Kabupaten Kebumen.