Perluas Pasar Produk Pesantren, Taj Yasin Dukung Pelatihan Kemasan
Tentang efek kemasan pada harga produk, santri asal Rembang itu mencontohkan produk madu klanceng yang ia produksi sejak 2016.
Salah satu produk pesantren |
"Ini produk-produk ponpes, kita dorong lagi untuk memajukan ekonomi pesantren. Kami dari Dinkop dan UKM Provinsi Jateng berterima kasih kepada pondok-pondok pesantren yang sudah mengikuti pelatihan teknik pengemasan produk," kata Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen di sela bimbingan teknik pengembangan kemasan produk ponpes di Hotel Pollos Rembang, Kamis, 23 September 2021.
Beberapa produk yang dipamerkan antara lain produk Tiwul kering, Opak Singkong, Intip (kerak nasi) dan makanan tradisional lain yang dikemas sangat menarik. Selain bahan kemasan lebih berkualitas, desain logo menarik, serta sertifikat izin PIRT, dan komposisi produk tercantum rapi, sehingga layak bersaing dengan produk lain di pasar tradisional, pasar modern, di pasar lokal maupun pasar luar negeri.
"Ini kemasannya sudah bagus, sudah ada sertifikat halal, izin produksinya sudah ada, tanggal kadaluarsa sudah ada, tinggal nanti dicantumkan nomor kontaknya sehingga kalau ada orang yang mau pesan lebih mudah. Kalau makanan intip seperti ini biasanya adanya di pasar tradisional, tapi kalau sudah dikemas seperti ini bisa masuk minimarket dan supermarket," bebernya.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jateng Ema Rachmawati menjelaskan, produk-produk ponpes di Jateng sangat beragam, namun selama ini kemasannya biasa-biasa saja, sehingga nilai jualnya relatif rendah.
Ema menyebutkan, sekitar 49 persen permasalahan yang dihadapi UMKM adalah pemasaran. Terlebih saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, pemasaran secara luar jaringan (luring) menjadi terkendala sehingga beralih ke dalam jaringan (daring). Sedangkan pada pemasaran daring hal penting yang harus ditonjolkan adalah kemasan dari produk.
Salah seorang peserta bimbingan teknik, Takhlisul Ibad, mengaku senang dapat mengikuti bimtek pengemasan produk ponpes. Melalui kegiatan tersebut, para santri mendapat banyak informasi tentang kreativitas dalam membuat kemasan untuk produk buatannya.
Tentang efek kemasan pada harga produk, santri asal Rembang itu mencontohkan produk madu klanceng yang ia produksi sejak 2016.
"Seperti madu klanceng punya saya, ini yang tanya ada dari Malaysia dan Korea, cuma dari kemasan produknya menurut saya merasa kurang menarik, apalagi dijual Rp. 50 ribu per botol. Mungkin kedepannya dibuat semenarik mungkin sehingga terlihat madu mahal," katanya.(*)