Bukan Menghargai, Kesannya Malah Jadi Mengolok-olok Pahlawan
Oleh: Kang Juki
INI KEBUMEN - Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 23 November 2021 meresmikan penggunaan nama Pahlawan Aceh, Laksamana Malahayati, untuk menjadi nama salah satu ruas jalan, tak ada gejolak berarti. Nama jalan bari di Kebumen.
Padahal sehari-hari aktivitas "kelompok opisisi", meminjam istilah Arif Yuswandono jauh lebih hiruk pikuk di Jakarta daripada di Kebumen.
Demikian juga meskipun yang dijadikan nama jalan adalah pahlawan dari daerah lain, tak ada yang berkomentar, "Apa tidak ada nama tokoh Betawi yang bisa dijadikan nama jalan lagi?"
Langkah Anies Baswedan diapresiasi Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang hadir secara virtual dalam acara tersebut.
Tokoh Masyarakat Aceh di Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat Taman Iskandar Muda (PP TIM) Surya Darma juga hadir memberikan apresiasinya.
Hal ini bukan karena jalan yang diberi nama Laksamana Malahayati itu sebelumnya tidak ada namanya, tapi karena dilakukan berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1242 Tahun 2021 tentang Penetapan Nama Jalan Laksamana Malahayati menggantikan Nama Jalan Inspeksi Kalimalang Sisi Sebelah Utara.
Sehingga jika ada yang tidak setuju tak perlu demo dan ribut, tinggal gugat saja Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1242/2021 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Masalahnya di Kebumen itu aneh, belum ada produk hukum yang menetapkannya sudah dilakukan tindakan peresmian perubahan nama jalan.
Hal ini bisa dilihat dari rekaman video Ratih TV apa akun YouTube, rubrik Berita Kebumen edisi 17 Desember 2021.
Papan nama jalan lama diganti dengan nama jalan yang baru, papan nama OPD juga sudah mulai diganti menggunakan nama jalan baru. Padahal nama jalan baru belum ada produk hukum penetapannya.
Naskah dinas yang terkait perubahan nama jalan itu sendiri aneh. Pengumuman Bupati Nomor: 130/2420 tentang Rencana Perubahan Nama Jalan dan Penamaan Rupa Bumi Lainnya di Kabupaten Kebumen ditulis "Ditetapkan di Kebumen pada tanggal 17 Desember 2021".
Dalam hirarki peraturan Pemkab Kebumen, apa dikenal Pengumuman Bupati sebagai salah satu produk hukum yang memerlukan penetapan?
Lalu bagaimana posisinya secara hirarkis, antara Pengumuman Bupati dengan Peraturan Bupati dan Instruksi Bupati?
Repotnya lagi Bupati Kebumen terlalu menilai tinggi terhadap tindakannya. Ketidakjelasan produk hukum dan naskah dinas yang diterbitkannya disebutkan sebagai kebijakan.
Sehingga membuat pencitraan dengan pernyataan terkait kebijakan yang tak bisa memuaskan semua orang, lengkap dengan lips service siap berdialog bahkan digugat di pengadilan.
Hal itu seketika membuat orang yang juga tidak paham penyelenggaraan administrasi pemerintahan salut dengan Bupati Kebumen.
Padahal kalau mau sedikit saja berkaca pada tindakan Bupati Kebumen sebelumnya terkait penetapan jalur searah, orang paling awam pun juga akan mempertanyakan, selesai uji coba jalur searah kok langsung ditetapkan? Kapan mengkaji hasil uji cobanya? Bisa seseorang dengan track record seperti itu diajak dialog?
Apakah di lingkungan Pemkab Kebumen tak ada sama sekali yang memahami administrasi negara, sehingga membiarkan Bupati Kebumen membuat Pengumuman tentang rencana tapi sudah diikuti dengan tindakan seremonial peresmian?
Apalagi melibatkan tokoh-tokoh masyarakat termasuk Ketua PCNU dan Ketua PDM Kabupaten Kebumen, karena nama pendiri kedua ormas tersebut ikut dijadikan nama jalan.
Atau ini ekspresi kolektif PNS di lingkungan Pemkab Kebumen yang kabarnya lebih banyak yang tidak memilih Arif Sugiyanto pada Pilkada 2020 yang lalu?
Sehingga membiarkan saja Arif Sugiyanto bertindak semaunya sendiri tanpa mengindahkan pedoman baku dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kebumen tak ada satupun yang bersuara terkait tidak sinkronnya tindakan dengan naskah dinas yang diterbitkan Pemkab Kebumen. Ketua DPRD lebih sensitif dengan urusan "kursi dinas" yang diduduki masyarakat untuk selfi dan seketika minta diganti.
Kebumen semakin manglingi, ketika dengan menyandang predikat pemerhati kebijakan publik, Arif Yuswandono dengan berani menyebut langkah Bupati Kebumen juga sebagai kebijakan.
Apakah yang dimaksud kebijakan itu, pembuatan naskah dinas yang tidak baku? Atau penggantian papan nama jalan yang belum ada penetapannya dengan dalih sosialisasi?
Kalau karena faktor politis kurang cocok menjadikan langkah Anies Baswedan dalam mengubah nama jalan sebagai contoh, silakan cari kepala daerah lain yang melakukan kebijakan serupa, mengubah nama jalan. Bisa dicek apakah yang dilakukannya seperti Anies Baswedan atau Arif Sugiyanto?
Dengan demikian apa yang dilakukan Bupati Kebumen sekarang, menunjukkan ketidakpahaman prosedur pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintah, bukan membuat kebijakan. Sangat patut jika DPRD mempermasalahkan.
Tindakan mengubah nama jalan pada akhirnya tidak mengindikasikan penghargaan kepada para pahlawan. Nyatanya tidak dipersiapkan sebaik mungkin sesuai prosedurnya.
Malah sebaliknya, kesannya menjadikan nama pahlawan untuk bahan olok-olokkan. Bukankah meresmikan sesuatu yang belum ada dasar hukum penetapannya tak beda dengan sedang mengolok-olok?(*)
Penulis adalah warga sekitar alun-alun Kebumen