Manisnya Gula Jawa , Tak Semanis Nasib Perajinnya - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Manisnya Gula Jawa , Tak Semanis Nasib Perajinnya

www.inikebumen.net BUAYAN - Manisnya rasa gula jawa, namun ternyata tak membuat manis nasib para penderesnya. Aktivitas yang dilakukan petani penderas ini, berbeda dengan petani lainnya. Karena mereka harus memanjat pohon kelapa yang umumnya berketinggian 15-25 meter untuk dapat mengambil air dari bunga kelapa (orang Karangbolong menyebut sajeng). Dan yang lebih menakjubkan lagi, para penderas ini setiap harinya pagi dan sore hari harus memanjat lebih dari 20 hingga 30 pohon untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Manisnya Gula Jawa , Tak Semanis Nasib Perajinnya
Penderes di Desa Karangbolong Kecamatan Buayan, saat menurunkan air nira.
Namun, upaya dan kerja kerasnya untuk mengolah air bunga kelapa menjadi gula ternyata tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka terima. Para petani penderes di Kabupaten Kebumen sebagian besar merupakan warga miskin.

Seperti, Ratim (59) Warga RT 02 RW 03 Desa Karangbolong, Kecamatan Buayan. Bapak dari delapan anak itu menderes sejak usianya masih 15 tahun. Dia terpaksa melakukan itu karena kondisi ekonomi orangtuanya yang serba kekurangan. Bahkan, dia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga sekolah dasar.
 
Setelah menderes selama hampir 44 tahun, nasibnya juga tak jauh berbeda dengan nasib almarhum kedua orangtuanya. Lebih miris lagi, dia tidak mampu menyekolahkan kedelapan anaknya hingga jenjang SMA.

Hanya tiga anak yang meluluskan pendidikan hingga SMP, kelima anak lainnya hanya lulus SD. "Lha wong saya tidak punya biaya, ya gimana lagi," tutur pria yang telah dikaruniai tujuh cucu, sambil menghirup klembak menyan.
 
Seorang penderes menghabiskan sedikitnya tiga jam untuk memanjat 20-40 pohon kelapa. Mengambil pongkor tempat nira, memotong manggar (bunga kelapa), dan mengikat pongkor pada manggar.

Pekerjaan ini tidak mengenal hari libur karena terlambat beberapa jam saja, nira tidak lagi bisa diolah menjadi gula. Jika dipaksakan dimasak, nira masam ini hanya akan menjadi gula gemblung (rusak). Gula gemblung adalah sebutan larutan kental nira yang tidak bisa kering dan dicetak menjadi gula. Gula gemblung menjadi musibah bagi para penderes, karena harganya sangat rendah.
 
Untuk mendapatkan gula berkualitas bagus, seorang penderes harus segera memasak nira yang disadapnya. Untuk membuat air nira menjadi gula jawa juga dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan waktu tiga hingga lima jam untuk memasak satu kenceng (wajan tempat nira) nira hingga menjadi gula.
 
Dari hasil jerih payahnya, dalam satu minggu dia mampu mendapatkan hasil Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Namun, dari hasil itu dia rata-rata membawa uang ke rumah antara Rp 250 ribu hingga Rp 400 ribu. Ini terjadi karena dia terjerat hutang kepada pedagang gula. "Saya dulu waktu mau mbeneri (memperbaiki) rumah utang sama juragan gula. Bayarnya ya dicicil setiap saya jual gula," kata dia.
 
Tak hanya Ratim, para penderas lain juga miskin karena terbelit utang sepanjang hidupnya. Terbelit perdagangan gula dengan sistem ijon yang mirip dengan sistem renternir yang diperankan oleh para tengkulak gula. (*)
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>