Mencegah Kemungkaran
Kang Juki |
Ayat tersebut bermakna, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Hasilnya bisa kita lihat dan manfaatkan bersama. Organisasi-organisasi Islam tersebut membangun lembaga pendidikan dan kesehatan yang sudah banyak membantu masyarakat. Namun kalau dirasakan, kegiatan dakwah sebenarnya masih didominasi amar ma'ruf dan kurang dalam nahi munkar.
Hal itu diindikasikan dengan masih banyaknya pelanggaran terhadap larangan dalam ajaran Islam. Sebagian ada yang sekaligus melanggar hukum positif sehingga pelakunya bisa terjerat hukum, misalnya: korupsi, penipuan, pelecehan seks, penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.
Sebagian lagi tak tersentuh hukum positif, sehingga pelakunya merasa nyaman, sementara yang mengingatkan malah kadang justru mengalami perudungan (di- bully). Sekadar contoh: perzinahan, perilaku seks menyimpang, minum-minuman keras dan sebagainya.
Dalam lingkungan masyarakat terkecil seperti keluarga, atau berbagai komunitas sosial yang semakin banyak terbentuk seiring berkembangnya media sosial (medsos), umumnya orang juga lebih ringan beramar ma'ruf ketimbang bernahi munkar. Hampir semua orang mau melakukan amar ma'ruf.
Sampai-sampai banyak orang kemudian jadi kurang jeli membagi info hoax tentang ajaran Islam melalui medsos. Hanya karena info itu diberi embel-embel perintah membagi agar dapat pahala dan diampuni dosanya, meski cuma sekadar mengingatkan tentang datangnya nisyfu sya'ban atau nuzulul Quran.
Sebaliknya untuk melakukan nahi munkar, seringkali saling mengelak dengan alasan tidak enak. Yang lebih repot jika berdalih tidak mau munafik karena masih melakukan.
Penempatan istilah munafik yang keliru. Mengingatkan nahi munkar saat kita sadar, mestinya juga karena berharap saat kita hendak terjerumus akan berbuat munkar ada yang mengingatkan dan mencegahnya. Sepanjang kita juga mau diingatkan lalu mengurungkan perbuatan, hal itu bukan suatu bentuk kemunafikan.
Orang tua saja adakalanya tidak kompak untuk mencegah anaknya berbuat munkar, apalagi dalam satu komunitas. Misalnya saat anaknya terlibat pergaulan bebas, antara Ayah dan Ibu bisa berbeda menyikapinya. Mestinya salah satu dari keduanya berpikir, jika seseorang tidak tegas menyikapi suatu tindakan, bisa jadi karena sering bertindak sama.
Dalam sebuah hadits yang berasal dari Abu Bakar bin Abu Syaibah ra, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim no. 70 dishahihkan oleh ijma' ulama).
Kalau orang saling mengelak untuk mencegah kemunkaran dengan tangan dan mulut, bagaimana kita yakin masih ada yang mau mengingatkannya dengan hati? Padahal itu sudah selemah-lemah iman. Bila keberadaan orang yang masih mau melakukan nahi munkar diragukan, bagaimana kemunkaran tidak merajalela?
Ramadhan bisa kita jadikan sebagai bulan perubahan. Mari kita mulai peduli untuk melakukan nahi munkar di sekitar kita. Melengkapi amar ma'ruf yang barangkali sudah banyak dilakukan.(*)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.