Insentif Perpajakan Untuk Mengatasi Dampak Negatif dari Pandemi Covid-19: Pengenaan Tarif PPh Badan Sebesar 19% dan 17% - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Insentif Perpajakan Untuk Mengatasi Dampak Negatif dari Pandemi Covid-19: Pengenaan Tarif PPh Badan Sebesar 19% dan 17%

“Salus populi suprema lex esto”
“Kesehatan rakyat harus menjadi yang utama”
(dari buku De Legibus yang ditulis oleh Cicero).

Insentif Perpajakan Untuk Mengatasi Dampak Negatif dari Pandemi Covid-19: Pengenaan Tarif PPh Badan Sebesar 19% dan 17%
Yusuf Munandar
INI Kebumen, SALUS adalah dewi kesehatan dan keselamatan dari Yunani kuno. Kemudian kata salus banyak digunakan untuk mewakili kata kesehatan atau keselamatan. Sebagai contoh, Salus per aquam (Spa) yang artinya adalah kesehatan atau keselamatan dari air (panas).

Pada zaman Romawi, frasa Salus per aquam (Spa) digunakan untuk menyebut kebiasaan tentara Romawi yang biasa berendam di pemandian air panas sebagai upaya untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan kebugaran tubuh yang lelah dari berperang.

Tindakan yang sedikit mirip banyak dilakukan orang saat ini yaitu berendam ataupun mandi air hangat (disebut dengan nama yang sama yaitu Spa) untuk mencegah dan mengatasi stres, menyembuhkan flu dan sakit kepala, melepaskan racun, menurunkan tekanan darah, menurunkan berat badan, serta agar bisa tidur lebih nyenyak.

Adagium Salus Populi Suprema Lex Esto terwujud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada paragraf ke-4 yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.

Untuk menunaikan amanat paragraf ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menangani dampak pandemi Covid-19 antara lain melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020.

Akan tetapi hal ini menuai beberapa ketidakpuasan dari beberapa pihak yang menganggap bahwa melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dalam menangani dampak pandemi Covid-19, pemerintah terlalu menonjolkan aspek ekonomi daripada aspek kesehatan.

Walaupun dalam berbagai kesempatan pemerintah selalu menyatakan bahwa masalah terkait pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan yang berdampak terhadap ekonomi, bukan masalah ekonomi yang memiliki dampak terhadap kesehatan, beberapa pihak merasa tidak cukup.

Sebenarnya terkait aspek kesehatan dan sosial, upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19 sudah dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dimana Kepres ini menjadi dasar hukum dibentuknya Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19. Gugus Tugas tersebut berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Gugus Tugas tersebut memiliki tujuan antara lain meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan, mempercepat penanganan Covid-19 melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran Covid-19, meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional, dan meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons terhadap Covid-19.

Pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.

Menteri Kesehatan juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu.

Bisa dinyatakan bahwa dari sisi kesehatan, pemerintah dan masyarakat Indonesia tinggal melaksanakan ketentuan atau peraturan yang sudah ada terkait penanganan pandemi Covid-19.

Insentif Perpajakan Berupa Pengenaan Tarif PPh Badan sebesar 19% dan 17%

Pada dasarnya, stimulus atau insentif perpajakan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terdiri dari empat macam yaitu (a) penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, (b) perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), (c) perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, dan (d) pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.

Sebenarnya yang dimaksud dengan “penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT)” adalah penurunan tarif PPh badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) dari semula sebesar 25% menjadi sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021, dan menjadi sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 sampai seterusnya.

Contoh penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021 adalah:
Penghasilan Kena Pajak dari PT A pada tahun pajak 2020 adalah sebesar Rp1.000.000.000,00, maka Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2020 adalah 22% dikali dengan Rp1.000.000.000,00 sehingga mendapatkan angka Rp220.000.000,00 yaitu Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2020.

Contoh penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk Tahun Pajak 2022 dan seterusnya adalah:
Penghasilan Kena Pajak dari PT A pada tahun pajak 2022 adalah sebesar Rp1.500.000.000,00, maka Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2022 adalah 20% dikali dengan Rp1.500.000.000,00 sehingga mendapatkan angka Rp300.000.000,00 yaitu Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2022.

Bagaimana cara untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak? Penghitungan Penghasilan Kena Pajak diselesaikan dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta Undang-Undang perubahannya dan semua peraturan turunannya.

Dikutip dari www.pajak.go.id, tujuan dari pemberian insentif perpajakan berupa penurunan tarif PPh untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT adalah untuk meningkatkan kemampuan badan usaha agar tetap mempertahankan usahanya dalam situasi pandemi Covid-19 dan bahkan bisa mengembangkan usahanya dengan meraih peluang dari pandemi Covid-19. Selain itu juga untuk mendorong agar Wajib Pajak go public dan menjual paling tidak 40% sahamnya di bursa efek di Indonesia.

Selain itu, masih ada tambahan lagi khusus untuk Wajib Pajak dalam negeri (tidak untuk BUT) yaitu Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka, dan jumlah keseluruhan saham yang disetornya diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi persyaratan tertentu, maka Wajib Pajak dalam negeri tersebut dapat memperoleh tarif PPh badan sebesar 19% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 dan tarif PPh badan sebesar 17% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 sampai seterusnya.

Contoh penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk Wajib Pajak dalam negeri (tidak untuk BUT) yang berbentuk Perseroan Terbatas dan memenuhi persyaratan tertentu untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021 adalah:
Penghasilan Kena Pajak dari PT A pada tahun pajak 2020 adalah sebesar Rp1.000.000.000,00, maka Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2020 adalah 19% dikali dengan Rp1.000.000.000,00 sehingga mendapatkan angka Rp190.000.000,00 yaitu Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2020.

Contoh penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk Wajib Pajak dalam negeri (tidak untuk BUT) untuk Tahun Pajak 2022 dan seterusnya adalah:
Penghasilan Kena Pajak dari PT A pada tahun pajak 2022 adalah sebesar Rp1.500.000.000,00, maka Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2022 adalah 17% dikali dengan Rp1.500.000.000,00 sehingga mendapatkan angka Rp255.000.000,00 yaitu Pajak Penghasilan yang terutang oleh PT A untuk tahun pajak 2022.

Sayangnya, persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam negeri agar dapat memperoleh tarif PPh badan sebesar 19% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 dan tarif PPh badan sebesar 17% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 sampai seterusnya tersebut diatur dalam peraturan pemerintah dimana saat ini peraturan pemerintah tersebut belum diterbitkan oleh pemerintah.

Hanya saja dalam peraturan terkait yang masih berlaku saat ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015, persyaratan tertentu tersebut bersifat kumulatif yaitu berupa Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka yang: (a) paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, dan (b) saham sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tersebut harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak, dan (c) masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, dan (d) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

Terlihat bahwa persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 tersebut cukup rumit dan berbiaya. Cukup wajar apabila terdapat Wajib Pajak yang berpendapat bahwa biaya ekonomi yang harus dikeluarkan untuk memenuhi persyaratan tertentu tersebut lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh dari insentif perpajakan. Akhirnya terdapat Wajib Pajak yang tidak bersedia memanfaatkan insentif perpajakan berupa penurunan tarif PPh Badan sebesar 5% lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri tersebut.

Sebenarnya kerumitan dalam persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 adalah karena insentif perpajakan memiliki tujuan spesifik yang akan bisa dicapai jika Wajib Pajak melakukan beberapa hal yang diatur dalam persyaratan tertentu tersebut. Dalam hal ini tujuan spesifik tersebut adalah meningkatkan perdagangan di bursa saham di Indonesia dan meningkatkan good corporate governance dari Wajib Pajak yang antara lain diraih melalui upaya mendaftarkan saham dari Wajib Pajak (listing) di bursa saham di Indonesia.

Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam negeri agar dapat memperoleh tarif PPh badan sebesar 19% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 dan tarif PPh badan sebesar 17% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 sampai seterusnya tersebut, tentu saja bisa sama dan bisa juga berbeda dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2015 seperti yang sudah dijelaskan di atas.(*)

Yusuf Munandar
Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

(Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis bekerja)
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>