Takut Pada Corona, Bagian dari Takut Kepada Allah
Kang Juki |
Maklumat itu bersama beberapa fatwa dan keputusan lembaga keagamaan kemudian mendasari penyelenggaraan shalat Jumat di berbagai masjid ditiadakan.
Dari sini kemudian seperti ada upaya mempertentangkan penanganan kedaruratan akibat pandemik Corona Virus Disease (Covid-19) dengan persoalan aqidah, atau keyakinan terhadap Allah SWT.
Sehingga di media sosial (medsos) seperti facebook viral ungkapan gugatan "Lebih takut pada Allah daripada corona", atau kalau dalam bentuk pertanyaan "Takut corona apa takut Allah?".
Bagi umat Islam, membandingkan perasaan takut pada corona dengan takut pada Allah jelas sesuatu yang konyol. Karena tindak lanjut dari kedua rasa takut itu berbeda.
Takut pada corona ditindaklanjuti dengan menghindari sejauh mungkin aktivitas yang memungkinkan virus corona masuk ke tubuh kita. Sementara takut pada Allah ditindaklanjuti dengan ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sehingga takut kepada Allah pada saat berjangkitnya pandemik corona adalah tetap menjalankan perintah Allah dengan tetap menghindari kemungkinan terpapar virus corona. Ajaran Islam juga memberi keleluasaan kepada umatnya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
Sebagai contoh, shalat wajib lima waktu tak harus dilaksanakan dengan berdiri, tapi bisa sambil duduk, bahkan boleh dengan berbaring. Boleh juga dilaksanakan di atas kendaraan. Bisa dijamak, atau dua shalat wajib dikumpulkan dalam satu waktu, yakni Dzuhur-Ashar dan Maghrib-Isya. Bisa juga diqashar, atau diringkas yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat.
Yang mungkin jarang diketahui, shalat juga bisa tidak langsung dilaksanakan berurutan gerakannya, seperti dalam shalat khauf, shalat saat kondisi ketakutan seperti dalam situasi perang. Tentu saja semua pengecualian-pengecualian itu ada ketentuan yang mendasarinya sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Lokasi masjid dalam situasi pandemik corona, tentu berbeda-beda status kondisinya. Masjid di desa terpencil, dengan penduduknya jarang bepergian dan relatif tidak pula menjadi tempat lalu lalang orang dari luar, mestinya aman dari ancaman corona, harus terus menjalankan aktivitasnya. Sayangnya biasanya masjid-masjid di desa terpencil, kadang ramainya hanya saat shalat Maghrib dan Isya.
Masjid di tengah kota atau di pinggir jalan besar, kemungkinan bisa menjadi persinggahan orang dari luar kota. Orang yang mau beribadah di dalamnya bisa kurang tenang, akan timbul rasa khawatir jika ada orang dari luar kota yang singgah.
Bagaimana kalau berasal dari daerah yang masuk zona merah, bahkan terlibat kontak erat dengan yang positif corona?
Karena itu dibuka tutupnya masjid mestinya tidak dijadikan polemik. Demikian pula jangan malah sengaja mencari masjid yang masih buka meski tempatnya jauh. Mencegah terpapar atau ikut menjadi penyebar corona tentu harus lebih diprioritaskan.
Allah SWT sudah memberi keringanan dalam cara beribadah sesuai situasi dan kondisi. Jika tidak digunakan keringanan tersebut, tidakkan nanti akan termasuk pada golongan orang yang sombong kepada Allah SWT?
Takut pada corona, sesungguhnya juga bagian dari ujian Allah SWT sebagaimana sudah diperingatkan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 155-156:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un."
Dengan meyakini pandemik corona sebagai ujian dari Allah SWT, maka selain menjalani ikhtiar menghentikan pandemik corona juga perlu introspeksi. Sejauh mana sudah menjalankan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya.
Jangan sampai kita tergolong orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah SWT sehingga ditimpakan bencana kelaparan dan ketakutan sebagaimana diingatkan dalam Al Quran surat An Nahl 112:
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.
Wallahu a'lam bish-shawab.(*)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.