Perkembangan Kualitas Demokrasi di Indonesia Tahun 2009-2018 - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

Perkembangan Kualitas Demokrasi di Indonesia Tahun 2009-2018

Perkembangan Kualitas Demokrasi di Indonesia Tahun 2009-2018
Perkembangan Kualitas Demokrasi di Indonesia Tahun 2009-2018
Yusuf Munandar
INI Kebumen, BAGAIMANAKAH sebenarnya hubungan antara kualitas demokrasi dengan tingkat kesejahteraan suatu negara? Apakah makin baik kualitas demokrasi dari suatu negara, maka tingkat kesejahteraannya akan makin tinggi? Atau sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali antara kualitas demokrasi dengan tingkat kesejahteraan atau tingkat pendapatan dari suatu negara?

Acemoglu dan kawan-kawan (2019) dalam tulisannya berjudul “Democracy Does Cause Growth” menjelaskan bahwa demokrasi memiliki efek yang positif terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita. Artinya makin baik kualitas demokrasi dari suatu negara maka makin tinggi juga produk domestik bruto per kapita-nya. Dan sebaliknya, makin buruk kualitas demokrasi dari suatu negara maka makin rendah produk domestik bruto per kapita-nya.

Kemudian dijelaskan bahwa demokratisasi menaikkan produk domestik bruto per kapita sebesar 20% dalam jangka panjang. Ini berlaku bagi suatu negara baik dia negara maju, negara berkembang, maupun negara yang masih tertinggal. Menurut Acemoglu dan kawan-kawan (2019), efek positif dari demokrasi berasal dari tingginya investasi modal, tingginya tingkat sekolah, dan membaiknya tingkat kesehatan.

Sementara itu di sisi lain, Heshmati dan Kim (2017), dalam tulisannya berjudul “The Relationship between Economic Growth and Democracy: Alternative Representations of Technological Change” menjelaskan bahwa berdasarkan teori perkembangan negara, ternyata kualitas institusi yang akan membawa kepada pertumbuhan ekonomi, tidak konsisten dengan kualitas demokrasi.

Di beberapa negara Asia Timur, seperti Korea Selatan dan Taiwan, strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ditempuh dengan cara mengendalikan institusi secara efisien untuk mengalokasikan modal dan sumber daya sedemikian rupa sesuai dengan tujuan dari pemerintah. Dengan sedikit memaksa warga negara untuk fokus kepada pertumbuhan ekonomi, negara menciptakan suatu atmosfir dimana mengorbankan kebebasan individu menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi.

Walaupun strategi yang ditempuh negara seperti Korea Selatan dan Taiwan ini tidak menjamin adanya nilai-nilai demokrasi dan transparansi kelembagaan, tetapi negara-negara ini bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan di sekitar tahun 1970-an dan 1980-an.

Lalu bagaimana menghubungkan dua penjelasan di atas yang seakan bertentangan, dimana satu pendapat menyatakan bahwa demokrasi berdampak positif terhadap kesejahteraan penduduk atau pertumbuhan ekonomi. Sementara terdapat penjelasan lain yang menyatakan bahwa walaupun tidak menguatkan nilai-nilai demokrasi termasuk transparansi kelembagaan, suatu negara tetap bisa maju serta memiliki penduduk yang berpendapatan tinggi dan sejahtera. 

Secara sederhana kemungkinan terdapat satu hal yang mungkin bisa menghubungkan dua penjelasan tersebut yaitu kapabilitas institusi negara atau lembaga negara. Institusi negara atau lembaga negara yang memiliki kapabilitas yang mumpuni ditambah dengan penguatan nilai-nilai demokrasi, maka negara tersebut akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

Apabila institusi atau lembaga pemerintah di suatu negara memiliki kapabilitas yang mumpuni, negara tersebut tetap akan bisa meraih pendapatan per kapita yang tinggi walaupun negara tersebut mengabaikan nilai-nilai demokrasi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bisakah Indonesia meraih pendapatan tinggi dengan kapabilitas institusi negara yang ada saat ini? Apakah institusi atau lembaga pemerintah Indonesia memiliki kapabilitas yang mumpuni, dari waktu ke waktu?

Untuk menilai kapabilitas institusi atau lembaga pemerintah Indonesia mungkin bisa dilakukan dengan beberapa cara atau pendekatan. Akan tetapi yang lebih mudah untuk dijelaskan adalah mengetahui perkembangan kualitas demokrasi di Indonesia dari waktu ke waktu.

Hal ini karena sudah terdapat beberapa alat ukur untuk mengetahui perkembangan kualitas demokrasi di Indonesia dari waktu ke waktu. Antara lain yaitu Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dan Democracy Index yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit.

Menurut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Dalam Rentang Waktu 2009-2018 Perkembangan Kualitas Demokrasi Indonesia Adalah Meningkat
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) disusun pertama kali oleh BPS Indonesia pada tahun 2009. IDI memiliki nilai antara 0 (paling buruk) sampai 100 (paling baik). BPS mengklasifikasikan IDI menjadi 3 kategori yaitu “baik” untuk angka indeks lebih dari 80, “sedang” untuk angka indeks 60 sampai 80, dan “buruk” untuk angka indeks kurang dari 60.

Dalam jangka waktu 2009-2018, angka IDI bersifat fluktuatif tetapi memperlihatkan tren yang meningkat. Artinya bahwa dalam jangka waktu 2009-2018 bisa dinyatakan bahwa kualitas demokrasi Indonesia meningkat. Pada tahun 2009, angka atau skor IDI adalah sebesar 67,30 (kategori sedang) dan pada tahun 2018 skor IDI telah menjadi sebesar 72,39 (kategori sedang).

IDI memiliki tiga aspek dimana dalam jangka waktu 2009-2018, aspek Kebebasan Sipil memperlihatkan tren yang menurun, sementara aspek Hak-hak Politik dan aspek Lembaga Demokrasi memperlihatkan tren yang meningkat.

Pada tahun 2009, aspek Kebebasan Sipil menunjukkan indeks sebesar 86,97 dan turun menjadi sebesar 78,46 di tahun 2018. Sementara aspek Hak-hak Politik memiliki indeks sebesar 54,60 di tahun 2009 dan meningkat menjadi sebesar 65,79 di tahun 2018. Di tahun 2009, indeks dari aspek Lembaga Demokrasi adalah sebesar 62,72 dan meningkat menjadi sebesar 75,25 di tahun 2018.

Dalam jangka waktu 2009-2018, apabila melihat angka IDI per tahun, maka bisa diketahui bahwa IDI menunjukkan angka atau skor atau poin terbesarnya di tahun 2014 yaitu sebesar 73,04. Apabila ditarik dari saat dimana IDI menunjukkan angka terbesarnya yaitu 73,04, maka IDI menunjukkan tren yang menurun.

Walaupun demikian, aspek Hak-hak Politik menunjukkan tren yang meningkat yaitu dari sebesar 63,72 di tahun 2014 menjadi sebesar 65,79 di tahun 2018. Aspek Kebebasan Sipil menunjukkan tren yang menurun yaitu dari sebesar 82,62 di tahun 2014 menjadi sebesar 78,46 di tahun 2018. Dan aspek Lembaga Demokrasi menunjukkan tren yang menurun yaitu dari sebesar 75,81 di tahun 2014 menjadi sebesar 75,25 di tahun 2018.

Dalam Berita Resmi Statistik Nomor 58/07/Th.XXII tanggal 29 Juli 2019, Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa aspek Kebebasan Sipil menunjukkan fluktuasi dengan tren yang lebih “smooth” dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Aspek Kebebasan Sipil pernah berada pada kategori “baik” pada periode tahun 2009-2011 dan tahun 2014-2015, serta mengalami titik terendah pada tahun 2016 yaitu sebesar 76,45 poin.

Aspek Hak-hak Politik sempat berada pada kategori “buruk” pada periode tahun 2009-2013 sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada periode tahun 2013-2015, dari sebesar 46,25 poin menjadi sebesar 70,63 poin. Setelah tahun 2015, aspek Hak-hak Politik menunjukkan tren menurun, walaupun masih dalam kategori “sedang”.

Sementara itu, aspek Lembaga Demokrasi selama periode tahun 2009-2018 selalu berada pada kategori “sedang” dengan pencapaian terendah pada tahun 2016 yaitu sebesar 62,05 dan tertinggi pada tahun 2014 yaitu sebesar 75,81.

Menurut Democracy Index, Dalam Rentang Waktu 2006-2019 Perkembangan Kualitas Demokrasi Indonesia Adalah Meningkat
Democracy Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) memperlihatkan bahwa dalam rentang waktu 2006-2019 perkembangan kualitas demokrasi di Indonesia bersifat fluktuatif dengan tren meningkat, dimana pada tahun 2006 skor Democracy Index Indonesia adalah sebesar 6,41 dan kemudian naik menjadi sebesar 6,48 di tahun 2019. Dan rangking global dari Democracy Index Indonesia juga meningkat dari berada di rangking 65 pada tahun 2006 menjadi berada di rangking 64 di tahun 2019.

Democracy Index yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) memiliki lima indikator yaitu indikator proses pemilihan dan pluralisme, indikator fungsionalitas pemerintahan, indikator partisipasi politik, indikator budaya politik, dan indikator kebebasan sipil. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam laporan yang berjudul “Democracy Index 2019: A Year of Democratic Setbacks and Popular Protest” yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU).

Dalam rentang waktu 2006-2019, dua indikator Democracy Index Indonesia mengalami kenaikan yaitu indikator proses pemilihan dan pluralisme dan indikator partisipasi politik. Pada tahun 2006, indikator proses pemilihan dan pluralisme menunjukkan angka indeks sebesar 6,92, dan pada tahun 2019 naik menjadi sebesar 7,92. Sementara itu, indikator partisipasi politik menunjukkan angka indeks sebesar 5,00 di tahun 2006 dan meningkat menjadi sebesar 6,11 di tahun 2019.

Dalam rentang waktu 2006-2019, satu indikator Democracy Index Indonesia tidak mengalami perubahan yaitu indikator fungsionalitas pemerintahan, dimana pada tahun 2006 adalah sebesar 7,14 dan pada tahun 2019 juga sebesar 7,14.

Dan dalam rentang waktu 2006-2019, dua indikator Democracy Index Indonesia mengalami penurunan yaitu indikator budaya politik dan indikator kebebasan sipil. Pada tahun 2006, indikator budaya politik menunjukkan angka indeks sebesar 6,25, dan pada tahun 2019 turun menjadi sebesar 5,63. Sementara itu, indikator kebebasan sipil menunjukkan angka indeks sebesar 6,76 di tahun 2006 dan turun menjadi sebesar 5,59 di tahun 2019.

Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), kenaikan dalam angka indeks dari indikator proses pemilihan dan pluralisme antara lain menunjukkan bahwa baik pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif di tingkat pusat maupun daerah, semuanya menunjukkan proses pemilihan yang bebas, fair, dan tanpa ancaman terhadap para pemilih. Juga menunjukkan bahwa peraturan yang ada memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh pihak yang berkompetisi. Juga menunjukkan bahwa rakyat bebas untuk mendirikan partai politik.

Sementara kenaikan dalam indeks dari indikator partisipasi politik antara lain menunjukkan bahwa pihak minoritas baik dari sisi agama, suku dan lainnya, memiliki kewenangan dan suara dalam proses politik.

Selain itu juga menunjukkan jumlah orang yang memilih lebih banyak dan makin banyak orang yang “melek politik”. Juga menunjukkan bahwa parlemen menjaga secara kuat adanya keterwakilan perempuan di parlemen. Serta menunjukkan bahwa jumlah anggota partai politik dan anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah semakin besar.

Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), penurunan skor dari indikator budaya politik antara lain menunjukkan bahwa makin sedikit orang yang setuju bahwa: demokrasi lebih baik dari bentuk pemerintahan lain, demokrasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, demokrasi adalah sistem yang baik untuk menjaga peraturan umum, negara sebaiknya tidak diperintah oleh pemerintahan militer, dan tidak boleh ada seorang pemimpin kuat memotong atau mendominasi parlemen dan pemilihan.

Sementara itu menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), penurunan dalam indikator kebebasan sipil, antara lain menunjukkan bahwa: kebebasan pers berkurang dan makin banyak pengendalian media, kebebasan berekspresi dan protes berkurang, diskusi masalah publik makin kurang terbuka dan kurang bebas, pembatasan politik makin besar, hak asasi manusia semakin kurang terlindungi, warga negara kurang diperlakukan sama di depan hukum, dan pengadilan makin diintervensi oleh pemerintah.(*)

Yusuf Munandar
Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

(Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis bekerja)
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>