Tradisi Ingkungan Masjid Banyumudal Ditengah Pandemi Covid-19
Hadiri Tradisi Suran Masjid Banyumudal, Wabup Kebumen Ajak Masyarakat Teladani Syekh Ibrahim Asmorokondi
Warga menggotong ingkung yang ditandu. |
Ribuan warga menghadiri acara yang diselenggarakan pada Jumat, 11 September 2020.
Wakil Bupati Arif Sugiyanto , juga terlihat hadir pada acara yang rutin digelar setahun sekali itu.
Arif Sugiyanto mengatakan peringatan haul diharapkan dapat meneladani perjuangan para pendahulu dalam menegakkan ajaran Islam.
Selain juga dapat memberikan semangat dalam melanjutkan cita-cita dan perjuangan Syaikh Ibrahim Asmorokondi.
"Perjuangan beliau dapat dilanjutkan dan dikembangkan oleh para generasi penerus. Baik dalam mengemban syiar Islam maupun dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya dalam mengisi pembangunan," katanya.
Ia menegaskan haul tersebut dapat menjadi wahana memperkuat tekad dan semangat para penerus, keturunan, dan seluruh masyarakat Kuwarisan, Panjer. Khususnya, dalam meneladani dan melanjutkan perjuangan pengabdian Syekh Asmorokondi kepada masyarakat dan agama.
"Sehingga dapat memberikan arti bagi upaya peningkatan keimanan dan ketakwaan umat Islam di Kabupaten Kebumen," imbuhnya.
Sementara itu, ribuan ingkung ayam disuguhkan dalam tradisi suran Warga Kuwarisan terebut. Tradisi yang sudah turun temurun itu masih terjaga hingga sekarang.
Tradisi yang dibalut dengan acara Haul Syaikh Ibrahim Asmoroqondi ini wajib digelar setahun sekali setiap Bulan Sura pada hari Jumat Kliwon sesuai penanggalan Jawa.
Tradisi suran di Masjid Banyumudal mewajibkan warga dan keturunan Dusun Kuwarisan membuat ingkung ayam berikut nasi dan lauk pauknya.
Setiap keluarga atau keturunan asli Dusun Kuwarisan, baik yang di Kebumen maupun yang di luar daerah, membuat tumpeng ingkung.
Bahkan biasanya tak jarang dari mereka yang berada dari luar daerah mudik ke kampung halaman untuk ikut memperingati tradisi yang disakraklan tersebut.
Jika tak sempat mudik, mereka menitipkan uang kepada sanak keluarga di kampung untuk membuatkan tumpeng ingkung atas nama dirinya.
Warga percaya, tradisi ini sebagai 'penolak bala'. Manfaat lain adalah sebagai sarana silaturahim, bisa berabagi dengan anak yatim dan piatu serta fakir miskin, sebagi perwujudan bersatunya umat manusia baik penguasa dan rakyatnya, juga dapat meningkatkan gizi keluarga.(*)