Masjid Darussalam Sukoharjo, Saksi Perjuangan Pangeran Diponegoro
Masjid Darussalam Sukoharjo, Saksi Perjuangan Pangeran Diponegoro |
INI KEBUMEN - Satu lagi jejak sejarah perkembangan Islam di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Masjid Darussalam di Dusun Kedunggudel, Kelurahan Kenep, Kecamatan/Kabupaten Sukoharjo.
Masjid itu dipercaya menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang dibuktikan dengan adanya sebuah sumur yang ditutupi oleh kaca bertuliskan “Sumur Kyai Pleret”.
“Kyai Pleret itu sebenarnya nama dapur tombak. Jadi untuk melegitimasi raja. Di Jawa itu salah satunya harus ada tombak Kiai Pleret.
Nah yang melambangkan itu kekuasaan. Sumur Kyai Pleret itu istilahnya kalau Jawa nunggak semi, menirulah nama tombak itu,” kata tokoh masyarakat Kedunggudel, Sehono, ditemui di Masjid Darussalam, beberapa hari lalu.
Menurut dia, sumur itu digunakan untuk menyimpan harta perang dari Pakubuwana VI (PB VI) ke Pangeran Diponegoro. PB VI merupakan susuhunan Surakarta.
“Jadi wilayah perang Pangeran Diponegoro kan luas sekali. Itu hampir separuh Jawa lebih. Itu Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari Kasunanan Surakarta pada masa PB ke VI itu,” tambahnya.
Sehono menuturkan, dari referensi yang diketahuinya, masjid ini dibangun oleh ulama yaitu Kiai Lombok. Makam sang pendiri masjid berada di belakang masjid.
Kiai Lombok merupakan santri dari Wali Songo yang berasal dari Pulau Lombok. Masjid ini dibangun pada Ahad Pon bertepatan 20 Agustus 1837.
Konon, masjid ini pula pernah dihujani bom jenis kanon sebanyak 21 kanon. Namun tak satupun yang berhasil meledak. Tujuan Belanda ketika itu, untuk membumihanguskan Kedunggudel.
“Mbah-mbahku mbiyen critane kanon kui sak jantung pisang (Nenek moyangku dulu cerita kanon itu ukurannya sama seperti jantung pisang). Itu kalau 21 kali enggak ada yang meletus, itu kebeneran atau kebeneran itu,” jelasnya.
Dusun Kedunggudel sendiri, secara geografis dekat dengan Bengawan Solo. Kemungkinan besar, kata Sehono, Kedunggudel sudah ada sejak sebelum agama Islam masuk. Dia pernah menemukan batu bata merah ukuran besar dari dalam tanah.
“Jejak sejarah yang ada di sini, saya menemukan batu bata merah itu, berarti menandakan bahwa kampung dan peradaban di sini mungkin sudah ada sejak zaman Majapahit,” tandas Sehono.(*)
Sumber: Diskominfo Jateng