Mendidik Orang Tua (Bagian II)
Kang Juki |
Yang paling rentan mengalami gaptek jika tingkat kecerdasannya normal tentu orang dengan usia pasca produktif. Karena memang sudah bukan masanya lagi untuk mempelajari hal yang baru.
Ada sebuah video humor pendek tentang seorang nenek-nenek yang membelikan pulsa buat cucunya. Karena tak memahami pulsa itu apa, nenek-nenek itu terus menunggu di konter pulsa sambil memegang tas kresek.
Meski sudah dijelaskan penjualnya bahwa pulsa sudah dikirim ke nomor cucunya, tetap saja nenek-nenek itu tidak percaya, karena tidak melihat wujud pulsa dan proses pengirimannya. Peristiwa semacam ini tentu tak akan terjadi pada anak-anak muda yang tumbuh seiring berkembangnya teknologi komunikasi.
Hal ini sekadar menunjukkan bahwa tak selalu orang tua lebih tahu segalanya. Adakalanya perlu penjelasan dari orang muda di sekitarnya yang lebih memahami situasi kekinian.
Jika merujukan Al Quran, perlu diingat dalam Al Quran tidak hanya ada kisah Lukman yang mendidik anaknya. Ada juga kisah Nabi Ibrahim as yang mengingatkan Ayahnya untuk tidak menyembah berhala. Dalam surat Maryam ayat 42 Allah SWT berfirman:
Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya, "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?"
Terkait pengetahuan yang bisa saja baru dimiliki anak-anaknya sementara generasi orang tua belum mengetahuinya, disinggung pada ayat 43, Allah SWT melanjutkan perkataan nabi Ibrahim,
"Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus."
Baca juga: Mendidik Orang Tua (Bagian I)
Pendidikan bagi orang tua semakin terasa pentingnya karena umat Islam pasti menginginkan kehidupannya di dunia berakhir dengan baik (husnul khatimah). Padahal untuk mewujudkan tujuan tersebut dengan sendirinya kita mesti menjaga stabilitas keimanan, yang sepanjang waktu akan mengalami kondisi naik-turun seiring berbagai peristiwa yang dialami sehari-hari.
Walaupun istilah kenakalan orang tua kalah populer dengan kenakalan remaja, tapi fenomena orang tua yang nakal tetap saja ada. Setidaknya fenomena itu diperhalus dengan istilah tua-tua keladi, makin tua makin jadi.
Jangankan orang tua, yang masih muda juga tak menginginkan akan meninggal saat sedang bertindak nakal. Sehingga dalam konteks mewujudkan husnul khatimah pencegahan kenakalan orang tua lebih mendesak daripada kenakalan remaja. Sebab saat kematian bagi orang tua relatif lebih dekat dibanding yang masih muda.
Last but not least kewajiban untuk saling mengingatkan tidak ada batasan usia, namun kultur masyarakat di manapun orang tua umumnya disegani yang lebih muda. Selalu ada ewuh pekewuh dari yang lebih muda untuk mengritisi orang tua.
Ketika ada orang muda yang mempermasalahkan tindakannya, orang tua yang sudah kehabisan argumentasi untuk membela diri, masih bisa dengan gampang menepisnya, "Tidak usah ikut campur urusan pribadi saya."
Padahal dalam kontek saling mengingatkan untuk kebenaran, tidak ada urusan pribadi yang tak bisa dicampuri. Sebab dalam Islam ada fardhu 'ain (kewajiban individu) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Apalagi dalam banyak hal, seringkali kita minta didoakan oleh orang lain. Bukankah itu sama saja urusan pribadinya dengan Allah SWT minta dicampuri orang lain?
Dengan sejumlah alasan tersebut, pendidikan orang tua mau tidak mau memang harus dilakukan. Tinggal bagaimana caranya yang perlu dipertimbangkan. (Bersambung)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.