Mendidik Orang Tua (Bagian I)
Kang Juki |
Tiga fase kehidupan manusia tersebut, yakni: keadaan lemah saat masih anak-anak, keadaan kuat ketika sudah dewasa dan lemah kembali setelah menjadi tua.
Dalam psikologi komunikasi, tiga fase kehidupan manusia ini sudah dikenal dengan adanya tiga posisi seseorang dalam berkomunikasi, yakni child (anak-anak), adult (dewasa) dan parent (orang tua).
Tiga posisi dalam berkomunikasi ini dipopulerkan seorang psikiater kelahiran Canada, Eric Berne (1910-1970) melalui teori analisis transaksional dalam bukunya Games People Play (1964).
Dunia kerja juga mengakui adanya tiga fase kehidupan manusia terkait produktivitasnya. Ada usia pra produktif, produktif dan pasca produktif. Mereka yang sudah memasuki usia pasca produktif akan dipensiunkan dari tempatnya bekerja.
Namun dalam ilmu pendidikan baru dikenal dua teori, yakni paedagogi (pendidikan anak) dan andragogi (pendidikan orang dewasa). Wajar bila membicarakan pendidikan, maka obyeknya adalah anak, orang yang masih berusia muda. Belum ada yang menganggap bahwa orang tua juga tetap perlu mendapat pendidikan.
Hal ini mungkin tidak lepas dari kekeliruan dalam praktek pendidikan anak yang masih sering diwujudkan dengan perintah dan larangan. Agar perintah ditaati dan larangan tidak dilanggar, ada kalanya diperkuat dengan melakukan kebohongan dan/atau kekerasan.
Walau dalam bentuk melakukan tindakan yang tak sesuai keinginan anak sebagai sebuah hukuman. Seperti disuruh menyapu halaman di siang yang terik, saat melanggar larangan atau tidak mengerjakan perintah. Jarang diberikan penjelasan yang membuat anak terbuka wawasannya. Praktek pendidikan anak seperti ini bisa ditemukan, baik oleh orang tuanya sendiri, guru di sekolah maupun di lingkungan kerabatnya.
Sekadar contoh, orang tua perokok apa yang akan dilakukannya ketika melihat anaknya yang masih SD ikut-ikutan merokok? Mereka umumnya pasti akan mengatakan, "Anak kecil tidak boleh merokok!"
Jika si anak menanyakan alasan larangannya, jawaban orang tua bisa asal-asalan. Padahal penjelasan yang masuk akal pun suatu saat bisa mendapatkan bantahan.
Misalnya orang tua berdalih anak belum bisa mencari uang sendiri jadi tidak boleh merokok. Anak di mana saja suka memperhatikan orang tuanya ketika sedang berhubungan dengan orang lain.
Jika secara kebetulan si anak melihat orang tua mengobrol dengan mitra kerjanya, lalu terdengar kalimat, "Ini sekadar uang rokok, Pak." Pasti akan membuat anak yang cerdas kebingungan. Uang untuk beli rokok bapak ternyata diberi orang lain, bukan hasil kerja. Mengapa bapak tidak mau memberi uang rokok buatku?
Demikian juga orang tua yang suka begadang. Bagaimana dia akan menegur anaknya yang keluyuran sampai tengah malam? Apalagi jika orang tua hendak melarang atau memerintah anak yang usianya masih balita. Nuansa kebohongan dan kekerasan acapkali muncul.
Dengan praktek mendidik anak seperti itu, jelas tidak mungkin gagasan mendidik orang tua akan diterima. Baik orang tua dalam arti orang yang sudah berusia tua atau orang tua kandung sendiri. "Masa orang tua mau dibohongi atau dibentak-bentak," respon spontan sebagian orang bisa jadi begitu.
Lalu untuk memperkuat alasan akan disampaikan firman Allah SWT tentang kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua (biirul walidain) dan larangan membentaknya, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Isra ayat 23, yang artinya,
"Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'uff' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
Gagasan mendidik orang tua mungkin juga akan dibantah dengan dalih orang tua lebih berpengalaman, bagaimana mau dididik orang yang lebih muda? Argumentasi sederhananya, orang tua sudah pernah muda, tapi anak muda belum pernah menjadi tua. Benarkah hal itu bisa memastikan orang tua lebih berpengalaman daripada anak muda? (Bersambung)
Kang Juki
Penulis adalah jamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.