PGRI dan Penegakkan Kode Etik Guru - ini kebumen | Media Rujukan Kebumen

PGRI dan Penegakkan Kode Etik Guru

Salah satu fenomena yang perlu dicermati PGRI, adalah meningkatnya perceraian di kalangan guru setelah adanya sertifikasi.
PGRI dan Penegakkan Kode Etik Guru
Guru saat menghadiri Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI di Alun-alun Kebumen 2019
www.inikebumen.net SETELAH Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan pada Kongres Guru Indonesia di Surakarta, 24-25 November 1945, sebenarnya juga disusul dengan berdirinya Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) pada tahun 1949.

Tapi pada tahun 1950 PGII kemudian membentuk Yayasan Pendidikan PGII (YP PGII) yang mendirikan sekolah-sekolah, sehingga  lebih aktif sebagai penyelenggara pendidikan ketimbang organisasi profesi guru. PGRI akhirnya menjadi satu-satunya organisasi profesi guru di Indonesia.

Diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, memberi peluang berdirinya organisasi profesi guru selain PGRI. Pasal 41 UU tersebut hanya mewajibkan guru menjadi anggota organisasi profesi (ayat 3) yang bersifat independen (ayat 1). Organisasi profesi guru berfungsi antara lain untuk memajukan profesi dan meningkatkan kompetensinya (ayat 2).

Karena itu lantas muncul organisasi profesi guru yang lain. Pada 24 Juli 2008 dideklarasikan Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGM Indonesia) di Jakarta, lalu Klub Guru Indonesia yang diinisiasi sejak tahun 2000 akhirnya berubah menjadi badan hukum resmi dengan nama Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada 26 November 2009.

Sekalipun demikian untuk Kabupaten Kebumen, hanya PGRI organisasi profesi yang diikuti para guru. Dengan kondisi tersebut maka bagaimana kiprah PGRI Kabupaten Kebumen akan ikut mempengaruhi wajah pendidikan Kebumen melalui pembinaan guru sebagai tenaga pendidik.

Salah satu fenomena yang perlu dicermati PGRI, adalah meningkatnya perceraian di kalangan guru setelah adanya sertifikasi. Peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi dan kian tingginya intensitas kerja ternyata menghadirkan efek samping perilaku menyimpang beberapa oknum guru atau pasangannya yang berakibat retaknya rumah tangga mereka.

Meski belum ada angka resmi, fenomena tersebut mestinya juga terjadi di Kebumen yang memiliki angka perceraian tinggi dan didominasi cerai gugat (inisiatif pihak istri).

Data dari Pengadilan Agama Kabupaten Kebumen, dari tahun 2016 sampai tahun 2019 kasus perceraian terus meningkat. Pada tahun 2016 ada 2.628 perceraian (1.888 cerai gugat, 740 cerai talak), tahun 2017 ada 2.736 perceraian (1.975 cerai gugat, 761 cerai talak), tahun 2018 ada 2.818 perceraian (2.103 cerai gugat, 715 cerai talak) dan tahun 2019 ada 2.909 perceraian (2.148 cerai gugat, 761 cerai talak).

Secara organisatoris, PGRI bisa ikut melakukan pencegahan kasus perceraian antara lain dengan penegakkan kode etik guru. Kode etik guru yang diunggah di laman resmi PGRI (pgri.or.id) menyebutkan bahwa guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia (Pasal 7).

Yang umum terjadi, perceraian akan berawal dari adanya hubungan intim dengan orang yang bukan merupakan pasangan resminya. Walaupun adanya hubungan tidak sah ini tak selalu berakhir dengan perceraian. Sebab ada saja perempuan yang berprinsip di luar rumah suaminya boleh berhubungan dengan siapa saja, yang penting kalau di rumah, suami seutuhnya menjadi miliknya.

Hubungan seperti itu tidak sesuai dengan kaidah agama dan masyarakat. Di lingkungan guru mestinya ada media untuk saling mengingatkan jika ada oknum guru yang berperilaku tersebut.

Salah satu butir kode etik terkait hubungan guru dengan sekolah dan rekan sejawat, yakni Pasal 6 ayat (4) huruf l menyebutkan, "Guru mengoreksi tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan dan martabat profesionalnya."

Yang lebih parah bila hubungan tidak sah itu terjadi dengan peserta didiknya yang jelas merupakan pelanggaran kode etik hubungan guru dengan peserta didik. Pasal 6 ayat (1) hurup o menyebutkan, "Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral dan agama."

Selain itu dalam huruf o disebutkan, "Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi."

Selama ini publik tidak tahu pembinaan yang dilakukan PGRI terhadap anggotanya, tahu-tahu ada guru yang bercerai, malah ada guru yang ditangkap polisi karena berbuat cabul terhadap muridnya.

Sampai terjadinya penangkapan oleh polisi menunjukkan belum ada mekanisme penegakkan kode etik yang berjalan. Guru yang melihat perilaku tak layak dari sejawatnya, barangkali sudah ada yang berusaha mengoreksi. Karena kurang dukungan struktural, mungkin langkah mengoreksi sejawat menjadi tak mempan. Akhirnya kasusnya tercium pihak kepolisian.

Langkah mengoreksi sejawat juga bisa berbalik menjadi senjata makan tuan. Apalagi bila yang dikoreksi lebih senior atau jajaran pimpinan di sekolahnya.

Tudingan balik bisa dialamatkan pada yang mengoreksi, dianggap dengki, hendak menjatuhkan, suka mencari-cari kesalahan atau mencemarkan nama baik.

Setidaknya yang dikoreksi bisa balik membentak, "Tidak usah mencampuri urusan pribadi orang lain!" Akibatnya ketika ada peristiwa serupa guru-guru yang mengetahui akan diam saja, mengambil langkah aman.

Dalam upaya penegakkan kode etik, maka keberadaan Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) menjadi penting untuk dioptimalkan fungsinya. Keorganisasian Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan dari AD PGRI Bab XVII Pasal 30 dan ART PGRI Bab XXVI Pasal 92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi dalam rangka penegakan disiplin etik guru. Sesuai ketentuan maka DKGI dibentuk sampai tingkat kabupaten/kota.

Seiring dengan terpilihnya Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris PC PGRI Kabupaten Kebumen Masa Bakti 2020-2025 dalam Konfercab XXII, Minggu (16/2) lalu, bisa diiringi dengan pembentukan DKGI Kabupaten Kebumen. Apalagi yang terpilih menjadi Ketua PC PGRI Kabupaten Kebumen adalah Agus Sunaryo, Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen.

Agus Sunaryo juga merupakan Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kebumen. Dengan tambahan posisi tersebut mestinya Agus lebih memiliki dukungan dan pengaruh untuk memfungsikan DKGI sebagai penegak kode etik guru di Kabupaten Kebumen.

Bagaimanapun juga persoalan etik dalam dunia pendidikan, meski kelihatan remeh punya dampak besar di masa depan.

Penegakan kode etik guru oleh DKGI akan menunjukkan peran PGRI dalam menjaga martabat profesi guru, bukan malah melindungi rekan seprofesi pelanggar kode etik. Langkah ini bisa memberikan pembelajaran kepada organisasi profesi lain dan masyarakat pada umumnya.

Kalau guru sebagai tenaga pendidik tidak bisa saling mengontrol rekan sejawat, tidak mungkin berharap masyarakat berani mengontrol pelaksanaan program pemerintah yang memerlukan kontrol langsung dari masyarakat. Selamat berkarya kepada para pimpinan PC PGRI Kabupaten Kebumen yang baru terpilih.(*)

Kang Juki
Penulis adalah aktivis media sosial.
Powered by Blogger.
}); })(jQuery); //]]>