Agar Interaksi Bernilai Silaturahmi
Oleh: Kang Juki
Kang Juki |
Apa yang dilakukan setelah saling bertemu? Secara formal menyatakan saling bermaafan, makan bersama, bersendau gurau, berbagi cerita masa lalu saat masih bersama atau pengalaman masing-masing ketika hidup di rantau.
Jadi, yang pasti mudik adalah untuk berinteraksi dengan sanak keluarga yang tidak setiap hari bisa ditemui karena tak lagi berdomisili di kampung halaman.
Apakah interaksi tersebut identik dengan silaturahmi sebagaimana yang dianjurkan dalam ajaran Islam, tentu bisa dilihat dari suasana interaksi dan pengaruhnya bagi yang berinteraksi.
Perbincangan keluarga jika berlangsung terbuka, akan menyinggung masalah yang tak pernah diperbincangkan dengan orang lain. Termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan di tempat kerja atau dalam menjalankan usahanya.
Ketika cerita mengalir begitu saja, apa yang dirahasiakan dari orang lain mungkin akan dibuka kepada keluarganya, termasuk mungkin kecurangan yang dilakukannya.
Apa yang harus dilakukan, saat salah satu anggota keluarga melakukan kecurangan seperti itu? Atau dalam perspektif yang lebih luas, ada anggota keluarga yang melanggar larangan?
Kalau yang dilanggar larangan pemerintah, masih sama-sama manusia, mungkin masih bisa disiasati. Larangan Allah SWT, apa juga mau disiasati?
Dalam kaitan ini kita harus mengingat firman Allah SWT,
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka." (QS Ali Imran: 110)
Rasulullah SAW juga mewasiatkan,
"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim no. 70 dishahihkan ijmak ulama)
Secara umum, kemungkaran adalah semua perbuatan yang melanggar larangan Allah SWT. Ada anggota keluarga yang melakukan kemungkaran, menjadi kewajiban anggota keluarga lainnya mencegah sesuai kemampuannya.
Dengan tangan (kekuasaan), ucapan atau yang paling lemah dengan hati. Mencegah orang berbuat mungkar mestinya juga diikuti dengan menjaga jarak dalam berhubungan, selama perbuatan mungkar itu masih dilakukan.
Sehingga kalau ada yang mengaku mampunya mencegah dengan hati, tapi masih berhubungan akrab dengan pelaku kemungkaran, patut dipertanyakan pencegahan yang dilakukannya.
Allah SWT mengingatkan,
"Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya." (QS Al Mujadalah: 22)
Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW mengingatkan,
"Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Muslim no. 3196 dishahihkan ijmak ulama)
Interaksi manusia dilakukan siapa saja tanpa memandang latar belakang agama. Yang membuat interaksi menjadi bernilai silaturahmi yang diperintahkan dalam ajaran Islam adalah semangat amar makruf nahi mungkar dari interaksi tersebut.
Karena itu, silaturahmi juga akan memberi hasil yang berbeda dibanding dengan hanya sekadar berinteraksi biasa.
Dari Anas ra, Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung kekerabatan." (HR Abu Daud no. 1443 dishahihkan Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Semoga interaksi yang dilakukan selama lebaran, khususnya mereka yang bisa mudik setelah melalui perjuangan panjang, mempunyai nilai silaturahmi. Sehingga usai lebaran bisa membawa perubahan, semakin meningkat keimanan dan ketakwaannya. Aamiin.(*)
Penulis adalah pegiat media dan jaamaah Masjid Agung Kauman, Kebumen.