Ironi JPPR, Modal Reputasi Nasional, Tak Jaga Kredibilitas di Kebumen
Catatan Sepekan Pasca Putusan DKPP (Bagian 1)
Oleh: Kang Juki
Ilustrasi |
Sayangnya laman jppr.or.id saat ini tak bisa diakses lagi, sehingga publik yang ingin mengetahui JPPR dari sumber primer harus kecewa. Sementara informasi dari ensiklopedia online wikipedia sangat terbatas.
Wikipedia menyebutkan ada 38 organisasi dan lembaga yang berpartisipasi dalam jaringan. Selain beberapa organisasi otonom (ortom) di bawah NU dan Muhammadiyah, juga lembaga antar iman, lembaga pendidikan, LSM dan sebagainya.
Sementara dalam laman rumahpemilu.org dijelaskan bila JPPR didirikan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1998. Namun pada Pemilu 1999, JPPR hanya memberikan pendidikan pemilih. Baru pada Pemilu 2004, JPPR melakukan pemantauan dengan jumlah pemantau terdaftar sebanyak 144.000 orang.
Pada Pilkada Serentak tahun 2020, JPPR melakukan pemantauan di 59 daerah dari 270 daerah yang menyelenggarakan. Koordinator Nasional (Kornas) JPPR Alwan Ola Riantobi juga rajin mengkritisi pelaksanaan Pilkada 2020.
Dalam salah satu diskusi virtual menjelang Pilkada Serentak 2020, Alwan Ola Riantobi membuat statemen yang berani. Menurutnya perlu sanksi tegas terhadap pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan COVID-19 dengan mendiskualifikasinya dari kontestasi pilkada.
Usai pelaksanaan Pilkada 2020, kepada berbagai media Alwan melaporkan beberapa temuan dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Antara lain: pelanggaran protokol kesehatan (prokes), warga positif Covid-19 yang tak menggunakan hak pilihnya, dugaan praktik politik uang (money politics) dan rendahnya partisipasi pemilih.
Alwan menyatakan JPPR menemukan 101 praktek dugaan politik uang. Berkebalikan dengan di tingkat nasional, Koordinator JPPR Kebumen Agus Suroso justru menyatakan tidak menemukan money politics dalam Pilkada 2020 di Kebumen.
Pernyataan tersebut sangat aneh, lembaga pemantau lazimnya mempublikasikan apa yang ditemukannya, bukan apa yang tidak ditemukannya. Mempublikasikan apa yang tidak ditemukan lembaga pemantau bukahkah sama dengan menjatuhkan kredibilitasnya sendiri? Kinerjanya menjadi tidak terkesan berpihak pada kepentingan politik rakyat, melainkan hanya hendak menjadi legitimator hasil pemilihan.
Sebagai Koordinator JPPR Kebumen, Agus Suroso seperti tidak memahami substansi kerja lembaga pemantau.
Ternyata tak hanya sampai di situ. Dari bukti yang diajukan KPU Kabupaten Kebumen dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Agus Suroso bahkan terbukti tak memahami substansi independen sebagai syarat lembaga pemantau pemilihan.
Saat diklarifikasi KPU Kabupaten Kebumen sehubungan dengan adanya usulan dari Masyarakat Kotak Kosong (Masy Koko), Agus Suroso mengaku menjadi Koordinator JPPR berdasarkan SK Nomor 014/SK/SekNas-JPPR/XI/2020 tanggal 13 November 2020. Sehingga pada tanggal 17 November 2020 saat mengunggah status pada akun facebook pribadinya, Agus sudah tahu kedudukannya hanya belum mendaftarkan JPPR ke KPU Kabupaten Kebumen.
Ironisnya unggahan statusnya berbunyi, "Warga NU wajib pilih Arif Sugiyanto Dalam Pilkada Kebumen 9 Desember 2020". Unggahan yang sekaligus memberi tanda kepada akun Arif Sugiyanto, langsung atau tidak langsung adalah pemberitahuan Agus Suroso akan keberpihakannya kepada Arif Sugiyanto.
Tapi dalam penjelasannya kepada KPU Kabupaten Kebumen tentang unggahan tersebut apakah merupakan bentuk dukungan dan apa tujuannya, jawaban Agus Suroso, "Bukan. Kalau itu atas nama pribadi bukan atas nama JPPR. Itu hanya postingan biasa dengan postingan "wajib pilih arif sugiyanto" dan bukan atas nama JPPR. Ini tidak masuk ajakan, karena jika ajakan harus ada kata ayo, mari, ikutilah. Tujuannya hanya posting biasa, karena saya lahir di NU dan besar di NU, dan NU sudah deklarasi arif sebagai bendahara, jadi saya posting."
Agus apa tidak memahami beberapa butir pernyataan yang ditandatanganinya dalam form II.5?
Pernyataan nomor 2 berbunyi, "tidak mempengaruhi Pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih.". Menyebut "Warga NU wajib pilih ..." dianggapnya bukan mempengaruhi? Warga NU tentu paham yang disebut wajib kalau dilaksanakan mendapat pahala jika tidak berdosa.
Unggahan tersebut semestinya juga mengingkari pernyataan nomor 5, "tidak memihak kepada peserta Pemilihan tertentu." Menghukumi wajib pilih bagaimana tak bisa disebut berpihak?
Ironis sekali ketika seorang koordinator pemantau tidak memahami substansi independen beserta penjabarannya, terkait mempengaruhi dan keberpihakan.
Putusan DKPP Nomor 129-PKE-DKPP/2021 yang dibacakan dalam sidang 28 Juli 2021 mudah-mudahan bisa menjadi bahan bagi Kornas JPPR untuk mengevaluasi JPPR daerah Kebumen. (Bersambung)
Penulis adalah pegiat media dan pemegang hak pilih pada Pilkada Kebumen tahun 2020.